Oleh: Miqdad Husein*
Ungkapan memiliki uang saja tidak cukup dan tidak dapat menjadi jaminan apapun dapat diperoleh ternyata terbukti. Rangkaian kata-kata berbentuk ungkapan itu bahkan terbukti pada kasus besar bernama hubungan antar negara dan pemerintahan. Lebih mengagetkan lagi ternyata tergolong soal ecek-cek ‘sesuatu’ yang jadi contoh kontekstual tak bisa diperoleh secara mudah walau memiliki segudang uang.
Masker. Itulah benda yang sempat diperebutkan beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Rusia, Kanada, Ukrania, Slovakia,Swedia, dan lainnya. Negara-negara itu memperebutkan dalam arti sebenarnya saling menawarkan harga lebih mahal. Lebih luar biasa lagi, utusan resmi masing-masing negara sempat saling berebut langsung dalam transaksi barang ecek-ecek, yang belakangan naik daun. Makin luar biasa kuadrat ketika barang-barang yang kebetulan produk Cina, sampai didatangi ke negeri tirai bambu. ‘Pertikaian’ merebut masker benar-benar terjadi melibatkan negara dan pemerintah secara resmi.
Presiden Jokowi dalam masalah berbeda sempat berebut dan ternyata menang. Ada beberapa bantuan medis dari Korea Selatan yang diperebutkan sekitar 100 negara. Alhamdulillah berkat diplomasi bergaya Solo, bantuan dari Korea Selatan berhasil ‘dimenangkan’ Indonesia. Jadilah bantuan alat-alat medis diberikan kepada rakyat negeri ini.
Tidak banyak yang menyadari -para petualang politik pura-pura tak tahu- bahwa apapun sekarang ini terkait kebutuhan menangani dan memerangi wabah Corona diperebutkan lebih dari seratus negara. Alat perlindungan diri (APD), masker, obat-obatan, alat medis diperebutkan kadang saling sikut seperti pemain memperebutkan bola. Benar-benar sebuah fakta riil yang kasat mata.
Jadi sebenarnya terasa aneh mereka yang mengomel pemerintah pimpinan Presiden Jokowi lamban, kurang perhatian kepada petugas medis. Ironis jika ada yang masih bersikap nyinyir kepada pemerintah yang saat ini pontang panting memperebutkan kebutuhan perlengkapan dan sarana menghadapi wabah Covid-19. Mereka, para tukang nyinyir itu, yang rata-rata berpendidikan relatif baik, mustahil tidak tahu kondisi riil. Mereka justru sangat tahu pertarungan berat pemerintah lalu berlagak tak tahu dan menjadikan ‘kerepotan’ pemerintah sebagai cela menyerang pemerintah. Syahwat politiklah yang mengemuka dan bukan itikad memberikan kritik konstruktif.
Berbeda dengan para petualang politik yang tidak memiliki nurani –karena sibuk mengumbar nafsu politik- sebagian rakyat negeri ini justru berinisiatif peduli. Ketika berbagai negara kelimpungan kekurangan masker, di negeri ini berkat partisipasi masyarakat, praktis saat ini mudah sekali memperoleh masker. Termasuk juga APD.
Saat ini berbagai negara masih sibuk memenuhi kebutuhan masker dan APD. Sementara di negeri ini pelan-pelan, berkat partisipasi dan inisiatif masyarakat hampir tak terdengar lagi hiruk pikuk –terutama soal masker. Setiap pojok sekarang ini dapat dengan mudah diperoleh masker dengan harga sangat terjangkau.
Benar pada awal wabah Covid-19 masker sempat sulit dan harganyapun menggila di negeri ini. Namun, belakangan, bersemangat kepedulian masyarakat, persoalan masker yang di negara lain masih belum teratasi, di negeri ini sudah relatif terpenuhi. Ada yang menjual, sebagian lainnya yang memiliki kemampuan memberikan sumbangsih gratis.
Semangat kepedulian dan empati, simpati, gorong royong serta sedikit bumbu memanfaatkan peluang pasar yang mengemuka di negeri ini. Ya, menolong menyediakan masker sambil mendapat sedikit untung. Saling memberi dan menerima; simbiose mutualisme. Ada efek ekonomi.
Inilah kekuatan luar basa di negeri ini: kepedulian dan kerja sama, saling membantu dan memberi. Sebuah kondisi sosial yang praktis sulit terjadi di negara-negara yang sempat ‘adu otot’ berebut masker. Buahnya terlihat jelas. Masker mudah diperoleh dengan harga murah. Juga, banyak yang saling memberi masker gratis.
Rakyat terus berbuat sementara segelintir orang terus berteriak ‘nyinyir’ membawa agenda politik. Gemuruh kepedulian dan kerja keras rakyat bersama pemerintah, sudah tentu yang lebih terdengar dan terbukti menjadi kekuatan menghadapi wabah Covid-19. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.