Oleh: Miqdad Husein
Bersepeda kini jadi trend di tengah masyarakat Indonesia. Di seluruh pelosok negeri sedang ramai masyarakat bersepeda ria, terutama pada hari libur. Tempat wisata alam seperti di Puncak, Kebun Raya, Bogor tak pelak menjadi sasaran tujuan para pengendara sepeda.
Pada weekend, berjejer mobil menuju tempat wisata sambil membawa sepeda. Mereka yang relatif masih muda dan kuat, biasanya langsung bersepeda dari tempat tinggalnya. Para penjual sepeda panen luar biasa, meninggalkan pedagang lain yang masih terpengaruh pandemi Covid-19. Harga sepedapun melonjak sesuai mekanisme pasar karena permintaan yang sangat luar biasa.
Inilah wajah masyarakat negeri ini. Mudah sekali terbawa arus trend dan bukan atas dasar kesadaran serta perhitungan matang kepentingan. Selerapun seperti mengikuti trend bukan karena minat dan hasrat.
Untuk sepeda barangkali relatif memiliki dasar rasional. Pandemi Covid-19 merupakan faktor penting titik tolaknya. Ini terkait pentingnya imunitas tubuh sebagai bagian menghadapi pandemi Covid-19. Berolahraga menjadi salah satu cara meningkatkan imunitas tubuh. Pilihanya ternyata banyak mengarah ke bersepeda.
Tidak ada data riil dan bukti akurat siapa sebenarnya yang menganjurkan berolahraga bersepeda dan bukan berlari atau berjalan kaki. Olahraga lainpun seperti bulutangkis, tennis meja, volly dan sepak bola seperti terabaikan. Joging di lapanganpun tampak berkurang karena banyak beralih bersepeda.
Terbawa arus bersepeda masih terlihat manfaat kongkrit serta sejalan kebutuhan mendesak perlunya penguatan imunitas. Bagaimana kebiasaan ‘terbawa’ arus lainya, yang kadang tanpa dipahami serta cenderung menjadi korban?
Trend memelihara burung misalnya, yang berlangsung beberapa bulan lalu dan sekarang sudah mulai mereda, mungkin tidak menimbulkan masalah. Termasuk trend batu akik, yang sekarang sudah mulai kembali normal; hanya mereka yang memang hoby saja masih terus menekuni.
Ada trend yang mengindikasikan permainan untuk kepentingan –apalagi- kalau mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Cirinya, tidak rasional dan jauh dari keindahan, keunikan serta manfaat.
Masih ingat trend pohon gelombang cinta, beberapa tahun lalu? Pohon biasa saja ini pernah trend dan sempat mencapai harga senilai mobil kijang. Padahal pohonnya biasa saja. Manfaatnya tak ada. Tidak ada astetika spesial seperti anggrek misalnya. Benar-benar tampak jelas sekali sebagai rekayasa trend yang mengecoh masyarakat negeri ini.
Ada demam bola ketika sedang berlangsung event besar seperti Piala Dunia atau Piala Eropa, atau yang lebih kecil Piala Asia. Ada demam olahraga karena event Olimpiade, Asian Games. Atau, untuk masyarakat negeri ini demam Bulu Tangkis karena ada even Piala Thomas. Kemeriahan seperti ini memiliki logika sebagai hiburan. Masyarakat memang berminat menikmatinya sebagai hiburan walau kadang harus melek sepanjang malam.
Ada lagi hoby memelihara kucing, anjing, kelinci, mengumpulkan mobil bekas, mengkoleksi benda-benda purbakala dan lainnya. Di sini ada kesadaran diri dan bukan karena trend atau terpengaruh secara instan dari orang lain. Minat benar-benar tumbuh karena kesukaan. Mereka memperhitungkan segalanya secara cermat dan bukan ikut-ikutan.
Mental ikut-ikutan ini jelas jauh dari rasional sehingga mudah sekali terperangkap permainan kepentingan. Yang dikedepanan emosi. Namanya saja ikut-ikutan. Asal ikut saja kadang tanpa mengerti tujuan dan kepentingan yang diikuti.
Pada kasus tertentu merugikan secara ekonomi seperti dalam ikut-ikutan pohon gelombang cinta atau pernah pula terjadi ketika boming batu akik. Sebuah batu akik bergambar tertentu pernah bernilai milyaran rupiah ketika boming. Jauh dari rasional dan biasanya musiman serta harga turun babak belur ketika musim telah berlalu.
Siapapun dengan mudah dapat menderetkan kasus-kasus trend yang jauh dari logika sehat sejenis pohon gelombang cinta di negeri ini. Sebuah gambaran tentang mental yang perlu mendapatkan penyegaran.
Sebuah meme sempat beredar di tengah euforia sepeda. “Mau beli sepeda mahal ragu. Khawatir bulan depan muncul trend naik kuda.”
Jika ikut-ikutan masih menyangkut hoby, hiburan mungkin hanya merugikan secara ekonomi, buang-buang waktu dan lainnya. Bagaimana jika ideologi, pemahaman keagamaan seperti ISIS, ajaran agama yang bernuansa radikal? Jelas sangat berbahaya. Pertaruhannya kedamaian negeri ini, bila ada yang terperangkap untuk ikut-ikutan.
Rasanya masih terasa penting mengingat jargon Jokowi tentang revolusi mental. Masyarakat perlu menyegarkan dan memperkuat watak dan karakter serta budaya bangsa agar tak mudah terpengaruh untuk ikut-ikutan. Seperti iklan layanan sosial: beli yang diperlukan. Kedepankan akal sehat agar tak mudah menari diiringi gendang yang ditabuh orang lain.