Oleh : Miqdad Husein
Entah berapa kali mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla melontarkan berbagai pernyataan jauh dari proporsional. Ini -terutama- jika dikaitkan rekam jejaknya sebagai mantan orang nomor dua di Republik ini.
Ia harusnya memberikan bimbingan moral politik dan bukan justru menjadi penebar aura panas. Apalagi JK saat ini juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI). Seharusnya, seperti masjid yang berada dalam komandonya, menyuarakan kesejukan, kedamaian dan mencerahkan. Bukan justru lebih mengedepankan nuansa politik, mengikuti arus wacana para politisi.
Mereka yang berpikir sehat tentu bingung ketika JK menyebut makin banyak kriminalisasi ulama. Ironisnya, pernyataan itu dilontarkan terkait kasus pembakaran mimbar masjid di Makasar.
Apa hubungan antara pembakaran mimbar masjid dengan kriminalisasi ulama? Sangat tidak ‘nyambung’ apalagi jika meneliti latar tindakan pembakar mimbar masjid.
Pelaku pembakaran mimbar masjid sebagaimana diberitakan kesal dan kecewa karena sering diusir pengurus dan Satpam masjid. Marah hingga membakar mimbar karena tidak boleh istirahat dan tiduran di masjid. Beda jauh kan dengan kriminalisasi ulama. Sebuah istilah yang artinya memperlakukan ulama seakan pelaku kriminal.
Apa iya pembakaran mimbar terkait kriminalisasi ulama. Mimbar jelas benda mati yang dibakar sebagai pelampiasan kekecewaan. Tak ada kaitan sama sekali.
JK juga mengkaitkan beberapa kejadian pemukulan ustad, penceramah, seperti kasus di Batam. Inipun tak ada kaitan dengan kriminalisasi ulama. Yang terlihat adalah ulama atau ustadz menjadi korban tindakan kriminal.
Terasa sekali penyebutan kriminalisasi ulama lebih sebagai komentar memanfaatkan momentum pembakaran mimbar masjid. Terkesan sengaja diselipkan untuk agenda tertentu.
Karena tak berkaitan pembakaran wajar kalau menduga pernyataan itu sebagai serangan dan tudingan kepada pemerintah seakan mengkriminalisasi ulama. Sebuah kalimat yang sering dituduhkan para tukang nyinyir, FPI, kalangan radikal -untuk menyembunyikan kedoknya- yang biasa mengarah kepada pemerintah sekarang ini.
Biasanya mereka para penuduh kriminalisasi ulama kepada pemerintah menyebut nama-nama sosok yang ditahan atau diproses hukum. Sebut saja Rizieq Shihab, Alfian Tanjung, Bahar Smith, Nur Sugih, Maher, Munarman.
Benarkah? Jelas jauh dari kebenaran. Alfian Tanjung kasusnya terkait fitnah kepada Teten Masduki. Bahar Smith karena tindak pidana penganiayaan anak. Nur Sugih berurusan dengan NU. Almarhum Maher terkait penghinaan Habib Lutfi. Rizieq Shihab seperti keputusan pengadilan terbukti melakukan tindak pidana turut serta melakukan penyiaran berita bohong dan menimbulkan keonaran dalam kasus tes usap di RS Ummi Bogor. Juga masih banyak kasus Rizieq Shihab lainnya. Lalu dimana kriminalisasinya?
Apa kepentingan JK melontarkan kosa kata bernuansa nyinyir tanpa dasar itu? Agaknya kepentingan 2024 dengan berupaya meraih simpati ummat Islam untuk mengantarkan Anies Baswedan.
Tidak ada yang salah berancang-ancang untuk Pilpres 2024. Namun untuk sekaliber JK, yang sudah dua kali jadi Wapres, jadi menteri, sekarang Ketua DMI seharusnya memberikan taburan moral politik dan bukan justru menjadi penebar komentar panas jauh dari proporsional.
Dewan Masjid itu kental bermuatan moral. Kata masjid yang identik sebagai tempat ibadah merupakan muara pencerahan keimanan. Bukankah seharusnya dalam posisi dan usia seperti sekarang JK memberikan bimbingan moral dalam segala hal, terutama moral politik kepada generasi yang lebih muda. Sayang memang.