Oleh : Miqdad Husein
Hanya berselang jam, dua kecelakaan mengerikan terjadi di jalan tol. Yang pertama, di Km 113 Tol Cipali menewaskan salah satu penumpang yaitu Dekan Peternakan UGM I Gede Suparta Budisatria. Yang kedua, di jalan Tol Jombang-Mojokerta, KM 672 menewaskan artis Vanessa Angel dan suaminya Febri Ardiansyah.
Kasus pertama terjadi karena supir mengantuk hingga tidak menyadari menabrak belakang truk, saat dini hari. Yang kedua, terjadi di siang hari diduga karena supir terindikasi mengendarai sangat cepat disertai –juga masih dugaan- sambil bermain ponsel. Main ponsel ini terekam karena si pengendara sempat memposting aktivitas perjalanan di Istagram, beberapa saat sebelum kecelakaan.
Untuk kasus pertama, sepenuhnya lebih merupakan kelalaian yang jauh dari kesengajaan. Artinya, supir mengendarai relatif dalam kecepatan wajar namun tidak segera bertindak arif untuk beristirahat ketika ada tanda-tanda mengantuk.
Soal mengantuk dan ban pecah, memang menjadi kasus terbanyak kecelakaan di jalan tol. Karena itu di berbagai tempat pengelola jalan tol selalu mengingatkan pengemudi untuk mewaspadai dua penyebab kecelakaan itu.
Terkait kasus kedua, ketika pengendara memacu kecepatan mobil melebihi batas yang ditentukan, merupakan potensi kecelakaan yang tak kalah mengerikan. Kecelakaan melebihi kecepatan ini biasanya berakibat fatal seperti kasus meninggalnya Vanessa dan suaminya. Masyarakat tentu masih ingat kasus relatif sama, ketika anak musisi Ahmad Dhani, juga mengalami kecelakaan hingga menewaskan tujuh orang, beberapa tahun lalu.
Soal mengendarai melebihi kecepatan sebenarnya menjadi persoalan yang sampai saat ini belum ditemukan solusinya riilnya. Pengelola jalan tol sejauh ini memang memberi rambu-rambu agar kecepatan tidak melebihi 100 km perjam. Namun, praktis tidak ada tindakan berarti terhadap pengendara yang jauh melewati kecepatan yang ditentukan.
Beberapa tempat memberitahu tentang adanya camera pengintai yang maksudnya mengingatkan pengendara. Tetapi, tidak ada tindak lanjut terhadap setiap pelanggar kecepatan di jalan tol. Batas itu sekedar memberitahu tapi tidak ada sanksi pada pengendara yang melewati batas kecepatan.
Di jalan tol relatif sepi, praktis sangat jarang pengendara yang mentaati ketentuan kecepatan 100 km perjam. Hanya truk bermuatan berat yang ‘terpaksa’ mentaati karena memang tak mampu melaju cepat.
Jalan tol tak bisa dipungkiri telah menjadi arena sirkuit. Pengendara seenaknya memacu kecepatan tanpa mengindahkan ketentuan batasan. Jika sekedar melebihi ketentuan sampai 120 km perjam, mungkin masih dapat ditoleir. Namun, sangat banyak kendaraan yang memacu kecepatan sekitar 140 sampai 160 km perjam. Kecelakaan mobil Vanessa bahkan diduga melaju dengan kecepatan 180 km perjam ketika terjadi kecelakaan.
Pengelola tol sudah saatnya mencari solusi agar pengendara mentaati ketentuan batas kecepatan. Berapa batas toleransi melebihi kecepatan 100 km serta sanksi yang harus diberlakukan baik berupa denda atau tindakan hukum lainnya. Mengendarai kendaraan sampai 140-160 apalagi 180 km perjam, di jalan tol sudah berpotensi mencelakakan pengendara lain dan yang berangkutan. Tak bisa lagi, kejadian membahayakan dibiarkan tanpa ada tindakan berarti. Perlu ketegasan pihak berwenang menertibkan pengedara yang menjadikan jalan tol sebagai arena sirkuit balap mobil. Urusannya menyangkut nyawa manusia.
Selain tindakan tegas sanksi, pemerintah perlu menentukan batas kemampuan kecepatan mobil. Tentu menggelikan membiarkan mobil beredar dengan batas kecepatan melampaui ketentuan batasan mengendarai mobil di jalan tol atau di jalan arteri. Mobil yang beredar di tengah masyarakat dapat dipacau bahkan sampai 240 km perjam, sementara di jalan dibatasi 100 km perjalan. Itu artinya, membiarkan potensi pelanggaran mengendarai mobil di jalan.
Menarik mencermati sebuah perusahaan armada bus, yang sengaja mengatur mesin bus agar kecepatan tidak melampaui batas tertentu. Jadi, supir bus bersangkutan, tidak bisa memaksa berkendaraan melebihi stelan mesin. Jika mesin bus diatur hanya sebatas 100 km perjam, hanya sebatas itu, supir dapat memacu kecepatan. Jadi, dalam kondisi apapun, maksimal kecepatan bus sebatas pengaturan mesin.
Jalan raya dan jalan tol bukan arena balap mobil. Jika mobil memang khusus dipergunakan kebutuhan keseharian, bukan untuk balapan, membatasi kemampuan kecepatan mesin bukan hal yang aneh. Silahkan, mobil dirancang dengan kecepatan tinggi jika memang digunakan untuk balap mobil di sirkuit, yang memang segalanya dirancang dan dipersiapkan, termasuk pengamanan untuk balapan.
Batasan-batasan seperti itu agaknya sudah saatnya dipikirkan pemerintah, sebagai bagian menjaga dan melindungi keselamatan pengendara mobil, baik yang bersangkutan maupun pengendara lainnya. Untuk masyarakat negeri ini, yang tingkat kedisiplinan sangat rendah, pembatasan kecepatan kemampuan mesin mobil sangat mendesak. Itu jika, tak ingin kecelakaan akibat ugal-ugalan pengendara terjadi lagi.