Oleh : Miqdad Husein
Perhelatan Muktamar ke 34 Nahdatul Ulama(NU) sungguh mengesankan. Melalui acara yang berlangsung di Lampung itu NU memberikan pembelajaran menarik tentang bagaimana berdemokrasi; bagaimana memilih pemimpin tanpa perlu larut dalam suasana emosi berlebihan. Dukungan kepada calon pemimpin tanpa bumbu-bumbu kebencian kepada calon lainnya. KH. Said Aqil Siraj sang petahana bersanding dengan KH. Yahya Cholil Staquf, untuk mendapat kepercayaan dari para muktamirin.
Tidak ada aroma emosional berlebihan, yang menciptakan fanatisme membabi buta. Baik pendukung KH. Said Aqil maupun KH. Yahya Staquf sama-sama menikmati suasana rileks, saling tertawa hingga praktis tidak ada ketegangan berarti. Padahal sikap saling dukung tetap terasa seperti terlihat dari perolehan suara, yang sama-sama mencapai lebih dari 200 orang. Itu artinya, riil perbedaan pilihan terjadi pada pelaksanaan muktamar di Lampung itu karena masing-masing kandidat memiliki pendukung signifikan.
Pada putaran pertama sebenarnya sudah terlihat kecenderungan dukungan kepada KH. Yahya dengan perolehan angka yang relatif jauh dari KH. Said Aqil. Secara matematis sulit KH. Said Aqil menang pada putaran kedua. Namun, demi memberi pembelajaran demokrasi KH. Said Aqil dan KH. Yahya tetap meneruskan voting putaran kedua agar proses pemilihan sepenuhnya mentaati Tata Tertib Pemilihan.
Pada konteks ini, putaran kedua membawa dua pembelajaran penting. Pertama, proses demokrasi harus mentaati aturan main yang telah disepakati bersama. Bisa saja KH. Said Aqil atau KH. Yahya Staquf langsung mengusulkan muktamirin mengesahkan dengan musyawarah mufakat atau aklamasi yang bisa jadi disetuji seluruh Muktamirin. Namun pilihan itu walau mempercepat proses pemilihan akan meninggalkan cacat proses pemilihan.
Kedua, KH. Said Aqil mendorong melanjutkan pemilihan putaran kedua sebagai bagian dari pembelajaran penting tentang proses demokrasi. Perlu ada kejelasan riil, fakta riil proses pemilihan telah berlangsung, yang disaksikan seluruh Muktamirin. Demikian pula hasilpun terlihat jelas siapa yang memang mendapat dukungan terbanyak. Semuanya jelas tanpa ada sakwasangka, yang dapat menimbulkan rumor liar.
Seandainya KH. Said Aqil mempertimbangkan hasil putaran pertama, yang memperlihatkan kecil kemungkinan dirinya menang, mengusulkan pada muktamar agar putaran kedua dilaksanakan secara aklamasi dan disetujui, proses pemilihan memang akan lebih cepat. Tetapi, bibit-bibit prasangka akan muncul subur. Ketakpastian, yang akan menimbulkan kecurigaan akan muncul.
Bukan hal luar bisa proses pemilihan kedua dilalui melalui aklamasi walau diusulkan KH. Said Aqil sendiri dan disetujui muktamar akan memunculkan hal-hal berikut. “Seandainya, tidak aklamasi, yang menang kemungkinan si A.” Lalu, lainnya berkata, “Mungkin saja, dukungan bisa berobah.” Dan akan masih banyak lagi kemungkinan rumor, prasangka dan lainnya, yang akan meninggalkan luka usai pelaksanaan muktamar.
Di sinilah penting kesabaran dan ketaatan normatif dalam proses demokrasi agar tidak menimbulkan berbagai pikiran liar dalam bentuk kecurigaan, prasangka dan lainnya. Semua harus jelas dan disaksikan mereka yang menjadi bagian dari proses pemilihan.
Lihatlah ketika proses pemilihan selesai. Sekalipun ada kekecewaan pada pendukung yang kalah, namun karena semua berjalan sesuai aturan, berjalan transparan, tidak berlarut-larut. Apalagi ketika para kandidat yang bersanding dalam pemilihan langsung berangkulan, berpelukan disaksikan seluruh Muktamirin. Kekecewaan sangat cepat mencair dan kebersamaan seluruh Muktamirin kembali lagi.
NU memberi pembelajaran penting bagaimana berdemokrasi tanpa harus saling memaki, memusuhi apalagi sampai saling menghujat, menfitnah, mengadu domba dan berbagai hal buruk lainnya. Ada persaingan namun tetap dalam bingkai persaudaraan, tetap di atas landasan moral yang sejalan nilai-nilai kemanusiaan serta terutama ajaran agama.
Demikian seharusnya demokrasi dijalankan. Ada persaingan, persandingan namun tetap berada dalam bingkai persaudaraan. Memberikan dukungan kepada kandidat tidak atas dasar prinsip harga mati, fanatik berlebihan. Memilih si A pun, bukan karena benci si B. Demikian pula, memilih si B bukan karena benci si A. Pilihan dan dukungan atas dasar pertimbangan program dapat dijalankan lebih baik dari sosok yang didukung. Hanya sebatas itu.
Demikianlah seharusnya. Memilih karena cinta pada sosok yang didukung, bukan karena benci sosok, yang tak dipilih. Kesadaran seperti itu akan membuat pendukung jauh dari sikap emosional, sikap fanatik buta yang membenarkan segala cara untuk memperjuangkan sosok, yang didukung. Kesadaran seperti itu hanya menjelaskan tentang perbedaan cara kepemimpinan yang didukung.