Oleh: Abrari Alzael | Budayawan
Perahu besar, bisa saja tenggelam yang disebabkan oleh terjadinya pembiaran atas kebocoran di lambung kapal. Pada mulanya, bocor itu kecil dan karena dianggap belum membahayakan, awak kapal membiarkannya. Tetapi, ketika kebocoran tersebut terjadi di banyak tempat, di lambung kapal itu, akhir dari sebuah keterapungan itu berubah, menjadi kekaraman.
Inilah yang saat ini terjadi, jika personifikasi kapal besar itu adalah wilayah nusantara. Indonesia kita hari ini, memberi indikasi terjadinya kebocoran-kebocoran itu. Banyak pihak bertindak sebagai koki yang mencoba menggoreng apa saja. Ada yang memasak urusan etnisitas kewilayahan yang membuat satu kelompok tersinggung dan memunculkan amarah. Ada juga yang menggoreng urgensitas keagamaan, yang juga menyebabkan kelompok tertentu meradang. Bahkan, ada yang mencoba mengaduk kebijakan yang memicu terjadinya kegaduhan.
Sehingga, kantor pihak yang berwenang ramai dikunjungi orang. Mereka berlomba-lomba mencari keadilan dengan cara melapor atau saling mengadukan. Inilah faktanya hari ini, dimana banyak orang merasa curiga dan saling tidak percaya satu sama lain. Bagi yang tidak percaya, mungkin pada saat tertentu mereka menemukan kelompok yang sengaja mengatasnamakan kepentingan pribadi dengan dalih kepentingan bersama. Bagi yang yakin, barangkali mereka menemukan diktum urgensi, bahwa sesungguhnya niat baik itu memang baik yang dibangun di atas pondasi kejujuran oleh perajut kebajikan.
Sebagai sebuah kapal, Indonesia ini memang besar, atau terlalu besar. Seekor gajah yang terlalu besar, biasanya susah untuk sekedar menegakkan badan. DI samping itu, gajah yang terlalu besar itu masih digandoli beban, titipan para penyelendang persoalan. Wal hasil, nafas gajah sengal, merasa berat berdiri, melangkah, apalagi untuk sekedar berlari oleh karena terlalu berat beban yang dipikul; baik sebagai tantangan, ancaman, hambatan, maupun sebagai gangguan.
Bung Karno, di zamannya, pernah menyampaikan dua hal yang kontekstual di era kekinian. Pertama, perlawanan terbesar sebuah bangsa, bukan lantaran beratnya beban yang dipikul dalam melawan kolonialisme. Melainkan, beban terberat sebuah negeri karena begitu peliknya melawan bangsa sendiri. Kedua, Bapak Bangsa itu memberi wejangan, jangan tanya apa yang telah diberikan bangsa, tetapi bertanyalah apa yang telah diberikan anak negeri kepada bangsanya. Frase tersebut, benar-benar terjadi saat ini. Bangsa ini, seakan-akan berpotensi hancur, bukan karena peran kolonial, tetapi justru lebih disebabkan oleh faktor internal, melainkan sebagian (besar) manusia Indonesia, gagal memberi makna terhadap Persatuan Indonesia.
Kapal besar ini, tak ubahnya seperti wahana yang didiami oleh para pihak yang tidak memiliki kesamaan keinginan. Satu pihak, mendayung bahtera menuju pelabuhan damai sejahtera. Pihak lainnya mempunyai kemauan untuk putar haluan. Pihak berikutnya lagi, ingin ke kanan, atau ke kiri. Garis komando nakoda, nyaris tak terdengar karena para pihak menanfsir dari posisi berdirinya masing-masing. Berbedanya kehendak dan tidak samanya keinginan ini, menyebabkan olengnya perahu yang ditumpangi. Kapal yang oleng di tengah badai, bisa berakhir dengan keselamatan, kekaraman, ketenggelaman atau keporak-porandaan. Bagaimana dengan kapal besar bernama nusantara ini?
Berdoa saja, tentu hal ini tak cukup. Diam saja, barangkali bukan semedi yang bijak. Lalu apa dan harus bagaimana? Gus Dur (Abdurahman Wahid), adalah lelaki yang multitalent. Suatu ketika, dia katakan bahwa negeri ini tidak akan pernah menjadi baik, apabila para kepala rumah tangga gagal mengharmoniskan rumah tangganya masing-masing. Logikanya, apabila sebuah rumah tangga dalam keadaan baik-baik saja, ada potensi anggota rumah tangga saat berada di luar rumah tangganya sendiri, memiliki peluang untuk menularkan kebaikan. Sebaliknya, jika anggota dalam rumah tangga tidak sedang baik-baik saja, ada kemungkinan saat ke luar dari rumah, punya potensi untuk menyebarkan ketidakbaikan itu kepada yang lain.
Pertanyaannya, sudah selesaikah bercermin? Pertanyaan ini penting karena sebagian dari penduduk negeri ini dengan sadar(?) mengaku diri sebagai monyet. Djenar Maesa Ayu, penulis itu, berhasil mengabadikannya menjadi sebuah cerita pendek; Mereka Bilang, Saya Monyet. Alangkah Lucunya (Negeri ini), seperti sebuah film yang disutradarai Deddy Mizwar pada tahun 2010 silam. Film ini sederhana, hanya mendidik semua kita belajar, bagaimana cara yang benar untuk menertawakan diri sendiri. (*)