Oleh : Miqdad Husein
Penangkapan artis Cassandra Angeline terkait dugaan keterlibatan akvitas prostitusi online bukan hal mengejutkan. Apalagi kasus sejenis dengan pemeran berlatar komunitas sama, selebriti, sudah ke sekian kali terjadi. Deretan banyak nama pesohorpun demikian sering disebut terkait dugaan prostitusi online, termasuk daftar yang diduga dikantongi Cassandra.
Namun, sampai sejauh ini memang sulit membongkar praktek buram sampai ke akarnya. Jejak panjang prostitusi yang beriringan dan seumur perkembangan peradaban manusia menegaskan realitas gurita prostitusi walau berjalan diam-diam.
Di era sekarang ini, prostitusipun seperti aktivitas bisnis lain tak ketinggalan untuk memanfaatkan digitalisasi. Mereka memanfaatkan kecanggihan jaringan dunia maya untuk mengembangkan bisnisnya.
Dunia maya saat ini, terutama media sosial seperti twitter, facebook, istagram dan lainnya ternyata benar-benar dimaksimalkan untuk pengembangan bisnis muram itu. Mudah sekali di jejaring sosial seperti twitter ditemukan promosi prostitusi yang cenderung terbuka bahkan sangat kasar. Istilah open booking, yang belakangan populer menjadi contoh riil indikasi maraknya bisnis esek-esek di dunia maya, terutama twitter.
Yang layak dicermati, belakangan muncul fenomena komersialisasi sensualitas, terutama di istagram dan twitter dari kalangan masyarakat biasa. Kaum hawa, demikian getol untuk mendapat pengikut sebagai bagian dari upaya meraih iklan, berlomba tampil seksi, yang mengarah vulgar. Segala cara mereka tempuh. Baik lewat pakaian, permainan acting yang memancing selera rendah dan aneka macam aktivitas bernuansa seksual untuk memperbanyak pengikut. Semakin banyak pengikut, semakin besar peluang meraih iklan.
Artis, selebrity, yang memiliki pengikut dalam jumlah besar memang bisa dipahami karena popularitas mereka. Demikian pula para olahragawan seperti pemain sepakbola, basket, bulutangkis dan lainnya. Jumlah besar pengikut memang merupakan hasil jerih payah mereka di bidang yang ditekuninya.
Terlihat jelas perbedaannya. Yang satu karena populer hasil prestasi sehingga mendapat banyak pengikut, yang satu ‘prestasi’ menjual sensualitas, selera rendah dalam meraih pengikut. Jadi, pengikut di sini sengaja diundang dengan cara promosi habis-habisan melalui pendekatan sensualitas.
Tak semua memang. Masih ada yang atas dasar ketekunan luar biasa, beraktivitas di dunia maya melalui ide-ide kreatif sehingga mendapat banyak pengikut. Namun, jumlahnya sangat sedikit sekali. Jauh sekali jika dibanding mereka yang melakukan pendekatan melalui pamer sensualitas.
Mungkin sulit mencegah mereka yang memang sengaja ‘berbisnis’ esek-esek yang makin terbuka, terutama di jejaring twitter. Yang layak dicermati ketika perilaku ‘liar’ mulai merambah kalangan anak muda, para remaja. Mereka tanpa ragu menebar aksi sensual vulgar hanya bertujuan meraih pengikut sebagai daya tarik pemasang iklan. Jumlah mereka semakin hari, semakin banyak.
Ujung-ujungnya, memang kepentingan meraih fulus sebanyak-banyaknya dengan cara sangat mudah. Ya, sangat mudah karena hanya bermodal keberanian buka-bukaan dan sedikit bergaya ‘memancing.’ Itu saja.
Dunia maya, yang merupakan jaringan tanpa batas, memang mempermudah seseorang mendapat popularitas. Sayangnya, popularitas di sini, belakangan mulai dijadikan areal yang bukan melalui prestasi riil seperti acting, olahraga, kreativitas ide dan hal positif lainnya. Yang lebih banyak ya itu tadi, tebar pesona melalui aktivitas sensual menggiurkan berselera rendah.
Tidak mudah mengatasi penyakit sosial ini. Sehebat apapun Kominfo dalam menerapkan kebijakan, termasuk memblokir berbagai konten terindikasi esek-esek, sangat sulit mencapai hasil efektif. Satu diblokir, muncul sepuluh. Sepuluh diblokir, muncul lima puluh.
Perlu ada dukungan masyarakat mendorong Kominfo mengerahkan seluruh kemampuannya mengurangi praktek bisnis mesum, yang makin marak dan cenderung vulgar. Perlu keberanian luar biasa yang bisa jadi sangat tidak populer untuk mengurangi merebaknya pemanfaatan media sosial untuk bisnis esek-esek.
Kesadaran kontrol diri masyarakat melalui penguatan institusi keluarga dan dunia pendidikan mutlak menjadi benteng pertama. Kedua, tentu saja, kekuatan kontrol moral masyarakat luas, untuk tidak terseret membenarkan praktek yang makin liar. Jelas, memang tidak mudah namun ikhtiar perlu terus dilakukan jika tak ingin kehidupan masyarakat negeri ini makin bebas tanpa batas.