Oleh : Miqdad Husein
Menjadi oposisi memang perlu selalu mengkritisi pemerintah. Memberikan masukan dari sudut pandang berbeda. Lalu, menyodorkan saran konstruktif, yang diyakini lebih baik dari apa yang telah dilakukan pemerintah.
Demikianlah, sikap ideal kekuatan politik atau apalah yang memposisikan sebagai oposisi. Kehidupan demokrasi dengan demikian berjalan baik. Kekuasaan ada yang mengawasi, mengontrol serta memberikan alternatif kontruktif agar pemerintah dapat lebih optimal meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Namun sayangnya, tak setiap kekuatan politik yang berada di luar kekuasaan, yang memposisikan sebagai oposisi mampu menjalankan peran proporsional. Yang sering terjadi lebih mengedepankan kepentingan agar pada pemilu mendatang mendapat kepercayaan masyarakat. Yang penting asal beda dan masyarakat bersimpati. Soal apakah yang diteriakkan memberikan manfaat urusan belakangan. Elektabilitas, tujuan utamanya.
Asal beda, kata anak muda sekarang. Yang penting tidak sama dengan apapun yang dilakukan pemerintah. Lebih parah lagi, dikembangkan sikap dan pandangan apapun yang dilakukan pemerintah salah. Pokoknya pemerintah selalu salah. Sementara saat ditanya apa kesalahannya tak mampu menjawab. Atau, menyalahkan tanpa menyadari justru diri sendiri yang salah.
Ambisi berkuasa, sering menjadi titik masuk sikap asal beda. Segala cara ditempuh, tidak peduli apa yang disampaikan bermanfaat atau tidak. Bahkan, karena syahwat berkuasa membuncah, komentar berbedapun tidak mempedulikan bahaya keselamatan apalagi pertimbangan manfaat kepada rakyat.
Komentar terbaru Gubernur Jakarta Anies Baswedan menjadi contoh menyedihkan. Komentarnya, yang baru disampaikan bukan hanya memperlihatkan asal beda. Pernyataan Anies Baswedan sungguh membahayakan keselamatan rakyat. Dapat mencelakakan rakyat sampai taraf kematian.
Berkaitan dengan momen mudik sekarang ini, Anies Baswedan memberikan pesan kepada pemudik agar lebih banyak mengobrol ketimbang menggunakan ponsel saat dalam perjalanan. “Kurangi lihat HP, nikmati pemandangan, ngobrol dengan sesama, sehingga perjalanan pulang jadi pengalaman,” katanya seperti dikutif Detik.com (23 April)Alamak.
Himbauan itu dalam kondisi normal oke saja walau tetap perlu catatan penting, agar tidak sembarangan mengobrol dengan orang lain, yang tidak dikenal. Bisa berpotensi membahayakan secara sosial. Apalagi dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini.
Sudah menjadi rahasia umum -karena demikian sering disampaikan oleh petugas medis, aparat berwenang, dalam kondisi pandemi agar menghindari banyak mengobrol. Sebab, berbicara menjadi salah satu media penyebaran Covid. Saat berada di rumah makan misalnya, diminta hanya membuka masker saat makan dan tidak banyak mengobrol serta berlama-lama berada dalam ruangan. Di sini terlihat jelas menjadi aneh bin ajaib himbauan Anies kepada pemudik agar banyak mengobrol.
Apakah Anies tidak mengetahui atau tidak menyadari himbauannya justru membayakan keselamatan dan nyawa para pemudik? Bukankah mengurangi mengobrol, berbicara, kongkow-kongkow agar dihindari telah menjadi bagian himbauan keseharian bahkan ketentuan baku Prokes dalam upaya memutus pandemi? Di pesawatpun, perjalanan yang kurang dari dua jam, ditekankan agar tidak menikmati makanan yang dibagikan kru. Lha, ini dihimbau mengobrol.
Rasanya aneh dan bahkan mustahil jika Anies tidak mengetahui pembatasan berbicara di ruang publik. Jakarta yang dipimpinnya, sangat sering menjadi episentrum penyebaran Covid-19. Jadi, apa sebenarnya maksud himbauannya. Sekedar berbeda dengan kebijakan pemerintah agar menaikkan elektabilitasnya? Atau ada agenda tersembunyi.
Mengerikan jika komentar Anies hanya atas dasar pertimbangan untuk menaikkan elektabilitas. Ini menggambarkan betapa Anies menggunakan segala cara untuk menaikkan elektabilitasnya termasuk yang membahayakan nyawa pemudik. Anies diduga tak peduli keselamatan dan nyawa para pemudik demi pemikiran serta sikap asal beda dengan pemerintah sebagai upaya menaikkan elektabilatasnya. Benar-benar perilaku mengerikan. Rakyat khususnya pemudik dijadikan tumbal memuaskan syahwat berkuasa. Naudzubillah.
Benar-benar ironi tragis. Ketika semua kekuatan berkompeten tidak jemu menghimbau termasuk memberlakukan peraturan ketat seperti keharusan booster, demi kesehatan dan keselamatan rakyat, Anies menjerumuskan para pemudik ke dalam bahaya, kemungkinan terinfeksi Covid-19.Para praktisi hukum perlu mengkaji apakah himbauan Anies ini, karena membahayakan nyawa pemudik, dapat dikatagorikan tindak pidana. Atau, setidaknya melanggar UU penanganan pandemi.
Bagaimanapun keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, yang perlu ditegakkan yang didalamnya termasuk menindak siapapun, yang melanggar, yang bersikap sebaliknya yaitu membahayakan rakyat.