BANGKALAN – Sejumlah pabrik tahu terpaksa tutup akibat harga kedelai melonjak tinggi. Hal itu dilakukan karena para produsen tahu tak sanggup dengan biaya produksi yang tinggi. Salah satunya pabrik tahu yang berada di Jalan Pemuda Kaffa, Ketengan, Burneh.
Sudah tiga hari pabrik tersebut tak mempekerjakan karyawannya, lantaran harga bahan baku kedelai melonjak tinggi. Sehingga tak sebanding dengan biaya penjualan yang masih tetap sama.
”Tiga hari pabrik kedelai tutup, lantaran harga kedelai impor tinggi,” kata Neman (51), salah satu pekerja di pabrik yang malang tersebut.
Dengan tutupnya pabrik tempat dirinya bekerja menjadi hal yang cukup meresahkan bagi dirinya. Sebab dirinya harus mencari pekerjaan sampingan untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika tidak, kebutuhan dapur tidak akan terpenuhi.
”Karena pabrik tutup, saya mencari pekerjaan lain untuk menutupi biaya hidup. Mengambil buruh dengan memperbaiki rumah,” ucapnya.
Akan tetapi, pekerjaan serabutan yang menjadi sampingan tersebut, tak bisa bertahan lama. Sebab, nafkah utama yang dilakoni didapatnya dari bekerja menjadi karyawan pabrik tahu. Menurutnya, sudah separuh usia melakoni pekerjaan menjadi karyawan di pabrik tahu Ketengan.
”Sejak remaja saya sudah bekerja di pabrik ini. Sampai sekarang, saya tinggal di mess dekat pabrik. Kalau pabrik tersebut tutup, nasib saya juga terancam,” keluhnya.
Dia menjelaskan apabila kenaikan tersebut tidak ada solusi dari pemerintah, hampir dipastikan para produsen tahu akan gulung tikar. Belum lagi, teman-teman yang sama-sama bekerja di pabrik yang sama, tentunya tidak tahu akan kemana lagi untuk mencari nafkah.
Selain itu, hal senada juga disampaikan konsumen tempe, Fifin (34). Perempuan yang setiap hari bekerja sebagai penjual aneka makanan penyetan tersebut mengaku hal itu cukup mengganggu. Sebab, pembelian kebutuhan tempe dijatah oleh penjual.
”Saya biasa menjual tempe penyet. Dengan dijatahnya harga pembelian, otomatis mengurangi dagangan saya tiap hari,” terangnya.
Dia mengaku penjual tempe di pasar menjatah penjualan, agar seluruh konsumen langganannya bisa kebagian. Tentunya hal itu berdampak kerugian untuk dagangannya. Kondisi demikian, memaksa pihaknya untuk memutar otak dengan mengganti bahan dasar tempe dengan lainnya. (ori/rah)