Oleh: Miqdad Husein
Penunjukkan Fachrul Razi yang berlatar belakang militer sebagai Menteri Agama memercikkan tudingan bahwa pemerintahan Jokowi sekarang ini cenderung mengulang praktek politik era Orde Baru. Berbagai pernyataan Fachrul Razi, yang terkesan agresif akan memerangi radikalisme seakan mempertegas penggunaan kembali praktek pemerintahan era Soeharto, dalam menghadapi kalangan Islam.
Larangan memakai cadar, termasuk pandangan tajam terhadap celana cingkrang, menguatkan kesan itu. Ditambah pernyataan Menko Polkam Mahfud MD dan Mendagri Tito Karnavian, atmosfir memerangi radikalisme, memang terasa sangat bersemangat hingga terkesan kental neo Orba.
Persoalannya, apakah benar berbagai langkah memerangi radikalisme dari pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi seperti mengulang praktek kekerasan rezim Orde Baru. Benarkah langkah-langkah itu ingin membungkam pluralisme pemikiran keagamaan sehingga menutup ruang keanekaragaman pemahaman dan praktek keagamaan, terutama Islam?
Perlu ketelitian dan sikap obyektif untuk memahami berbagai langkah pemerintah sekarang ini yang dari sejak pelantikan kabinet memang menggaungkan perang menghadapi radikalisme. Obyektivitas itu penting agar penyelesaian realitas persoalan hubungan kemasyarakatan dapat tuntas dan bukan justru menimbulkan kegamangan. Lebih menghawatirkan lagi ketika akhirnya seperti memberi peluang potensi eskalasi ketegangan yang ditimbulkan radikalisme.
Di masa Orde Baru, jika ditelusuri sebenarnya praktis praktek-praktek keagamaan jauh dari berbagai bentuk tindak radikal. Konsepsi Orde Baru yang sejak awal mengedepankan jargon pembangunan menutup hal apapun yang dapat memercikan munculnya suara berbeda dari kekuasaan. Praktis sampai tahun 1980 an kehidupan keagamaan di negeri ini relatif jauh dari hiruk pikuk tindakan radikal bernuansa keagamaan.
Kontrol kekuasaan saat itu terhadap aktivitas keagamaan sangat luar biasa. Hampir tak ada dakwah yang menyinggung persoalan sosial apalagi mengkaitkan dengan politik. Khotbah di masjid dan tempat ibadah lainnya praktis kental seremoni dan hanya berbicara iman taqwa dalam konteks sangat sederhana.
Munculnya persoalan agama bernuansa politik sebagai bentuk perlawanan sebenarnya lebih merupakan ekspresi sikap politik. Masyarakat makin merasakan cengkraman kekuasaan politik sehingga Pemilu misalnya, tidak lebih dari sekedar formalitas demokrasi. Pelan-pelan bibit kekecewaan muncul pada Pemilu 1982 melalui dukungan pada PPP. Partai yang saat itu berlambang Ka’bah menjadi penyaluran kekecewaan politik rakyat Indonesia. Sayangnya, respon rezim bukan mencoba memperbaiki kehidupan politik namun justru melakukan berbagai langkah pembungkaman. Ekspresi politik Islam ditekan habis melalui pemberlakuan asas tunggal, termasuk pula keharusan merobah lambang Ka’bah menjadi Bintang. Segala yang berbau simbol Islam diberangus, termasuk larangan memakai jilbab pada anak-anak sekolah.
Terlihat jelas alurnya. Munculnya perlawanan politik bernuansa agama Islam, baik yang melalui ekspresi formal ke saluran partai dalam hal ini PPP dan yang menggunakan jalur di luar partai sepenuhnya merupakan reaksi dan bukan sebagai sebuah aksi alamiah yang tumbuh dari bawah. Jadi, pemerintahlah yang menumbuhkan radikalisme beragama saat itu.
Lalu apa yang membedakan radikalisme di era Orde Baru dan era sekarang ini? Sangat jelas perbedaannya. Apa yang terjadi di masa lalu adalah reaksi ketakpuasan dan perlawanan sedang di era sekarang sepenuhnya sebagai sebuah proses pemahaman keagamaan yang secara sistematis dikembangkan oleh kekuatan Islam politik. Mereka membawa ideologi yang bertolak belakang dengan ideologi Pancasila.
Tidak ada persoalan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat serta bersikap kritis di era sekarang. Kebebasan bahkan sangat luar biasa baik yang disampaikan langsung maupun melalui media konvensional dan media sosial.
Di sini sangat jelas benang merah potensi konflik yang memunculkan radikalisme. Ada dua ideologi bertolak belakang yaitu khilafah, yang secara terbuka tidak menerima Pancasila. Tidak perlu menjadi sangat cerdas untuk memahami peta konflik ideologi itu, yang akan sangat subur memunculkan radikalime.
Cadar, celana cingkrang, jenggot dan sikap pengerasan kelompok yang sempat menjadi perhatian Muktamar Muhammadiyah, di Makasar sekedar menjadi penegasan identitas. Mereka berangkat dari kesadaran keagamaan semata.
Di luar berbagai penguatan identitas itu ada pembiaran ideologi khilafah di masa sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Muncul interaksi pemanfaatan layaknya praktek politik. Yang awalnya kesadaran keagamaan – betapapun sangat tekstual- kemudian dijadikan oleh mereka bagian dalam konflik ideologi.
Bisa dipahami pemikiran yang menyebut mereka yang bercadar, bercelana cingkrang dan terperangkap pengerasan kelompok mungkin jauh dari perilaku radikal. Mungkin hanya mereka yang terpengaruh pengerasan kelompok yang relatif memiliki potensi radikal. Itupun lebih mengarah pada radikalisme agama yang jauh dari wilayah konflik ideologi.
Di sinilah penting pemerintah mampu menyisir dan mengurai persoalan yang sebenarnya. Jangan sampai yang sekedar simbol atas dasar kesadaran keagamaan, yang sama sekali tidak bersentuhan dengan radikalisme menjadi sasaran tindakan. Sementara, yang sesungguhnya dari sajak awal menegaskan ‘perlawanan’ ideologi, yang kadang hanya memanfaatkan berbagai simbol agama, justru kurang mendapat perhatian.
Nahdatul Ulama dengan Islam Nusantara dan Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan selama ini sudah melangkah walau belum optimal. Konsepsi NU dan Muhammadiyah itu jauh lebih elegan untuk menyelamatkan mereka yang memiliki kesadaran keagamaan namun terseret atau terperangkap kepentingan politik dalam bentuk perlawanan ideologi.
Perlu ada pemilahan antara yang bangkit kesadaran keagamaannya walau kadang terasa ‘lebay’ dengan mereka yang menjadikan agama sekedar kedok politik kepentingan meraih kekuasaan dan untuk perlawanan ideologi. Yang perlawanan ideologi sudah tentu yang paling berbahaya.