Miqdad Husein
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara mengejutkan menetapkan Menteri Sosial Julian Batubara sebagai tersangka. Ini berarti hanya dalam sepekan dua menteri ditetapkan KPK sebagai tersangka. Sebelumnya Menteri Perikanan dan Kelautan Edhy Prabowo digelandang KPK usai perjalanan dari Amerika Serikat.
Saat Edhy Prabowo ditangkap publik di tanah air sempat bersikap sinis kepada KPK karena latar belakang menteri sebagai kader Gerindra. Muncul rumor bahwa penangkapan Edhy Prabowo yang terkait kasus benih lobter bermuatan persaingan PDIP dan Gerindra. Padahal, dalam waktu berdekatan Walikota Cimahi Ajay Muhammad Priatna yang kader PDIP juga diamankan KPK.
Suara bisik-bisik itu kini ternyata tak terbukti ketika KPK menetapkan Menteri Sosial sebagai tersangka. Latar belakang Julian Batubara sebagai kader PDIP menegaskan kepada publik bahwa tindakan KPK sepenuhnya atas dasar penegakan hukum. Baik dari kader Gerindra maupun dari PDIP sebagai partai utama pemerintah, jika terlacak dan terbukti melanggar hukum tak akan lepas dari jerat KPK.
Penangkapan dua menteri secara keseluruhan mendobrak persepsi minor publik terhadap komposisi pimpinan KPK. Sudah menjadi rahasia umum merebak tudingan pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi terindikasi melemahkan KPK. Bersama DPR dengan perubahan UU KPK, pemerintahan Jokowi dianggap melemahkan KPK. “KPK mati ditangan Presiden Jokowi,” demikian sempat beredar di media sosial.
Terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK juga disorot tajam sangat luar biasa. Beberapa sikap FIrli semasa masih belum menjadi ketua KPK dipaparkan terbuka sehinga makin menguatkan dugaan bahwa KPK memang sengaja dibunuh pelan-pelan.
Namun kini pelan-pelan masyarakat secara terbuka melihat fakta riil tentang sepak terjang KPK. Ternyata dugaan pelemahan KPK oleh pemerintah pimpinan Presiden Jokowi tidak terbukti. Sepak terjang KPK dalam sepekan ini justru benar-benar ‘mengerikan’ dan membuat siapapun harus berhitung matang, bila ingin menyalahgunakan kekuasaan.
JIka sebelumnya, termasuk para pendukung Jokowi mengaku kecewa dan melihat sisi kelemahan pemerintah sekarang pada pelemahan KPK, ternyata kini terbantahkan. KPK dengan rentetan penangkapan dalam beberapa hari terakhir ini termasuk dari kader PDIP dan Gerindra seakan mendeklarasikan kepada penyelenggara negara agar tidak main-main mengelola APBN dan APBD.
Ungkapan man behind the gun, agaknya seperti terpapar dalam tindakan tegas KPK belakangan ini. UU KPK boleh saja berobah atau dituding melemahkan. Namun, perangkat UU apapun sejatinya tergantung siapa pelaksananya. Sebaliknya, sebaik apapun UU bila pelaksananya tidak memiliki komitmen melaksanakan pasal-pasalnya, UU itu hanya akan menjadi hiasan indah. Namun jika mereka yang ditugaskan sebagai pelaksana UU memiliki kesungguhan menerapkannya, berbagai kekurangan UU tertutupi.
Masyarakat negeri ini seharusnya belajar dari berbagai keraguan kepada KPK dan pimpinannya. Ketua KPK Antasari Azhar misalnya, sempat sangat diragukan. Rekam jejak dia sebagai Jaksa, membuat publik meragukan kemampuannya dalam memimpin KPK.
Namun, semua kekahwatiran tidak terbukti. Dibawah kepemimpinan Antasari Azhar KPK tergolong sangat garang dalam menjerat berbagai pelaku tindak pidana korupsi.
Ketua KPK Firl dan para wakilnya sempat pula diragukan. Kondisi KPK dan perangkat UUnya bahkan dinilai sebagai kelemahan paling mendasar kepemimpinan Presiden Jokowi pada periode keduanya. Lagi-lagi, ternyata tidak terbukti dengan sepak terjang KPK belakangan ini.
Meragukan sebagai kekhawatiran dan koreksi mungkin penting sebagai dorongan sekaligus pengawasan pada KPK. Namun, jangan pernah kehilangan harapan.
Karena itu penting lembaga apapun di negeri ini perlu diawasi, didorong dan bila perlu dituntut konsistensi dan komitmen dalam menjalankan kewenangan sesuai amanah rakyat.