Oleh : MH. Said Abdullah
Kekhawatiran sementara kalangan aktivis sosial tentang kemungkinan komersialisasi vaksin mulai terbukti. Pembatasan kunjungan masyarakat dari berbagai negara ke negara tertentu disinyalir terindikasi komersialisasi vaksin. Paling mencolok ketika pemerintah Arab Saudi hanya mengizinkan 11 negara yang dapat mengirimkan jamaah haji dan umroh yang berhubungan penggunaan vaksin merek tertentu.
Sampai saat ini Arab Saudi baru mengakui empat merek vaksin yang digunakan di negara mereka. Yaitu vaksin Moderna produk Amerika Serikat, Pfizer-Biontech, produk Jerman-AS, Oxford-Astrazaneca produk Inggris-Swedia dan Johnson&Johnson, juga produk AS. Tidak ada produk di luar AS dan Eropa. Jelas pembatasan ini menimbulkan dugaan tentang persaingan perdagangan vaksin yang nilainya memang menggiurkan.
Jumlah jamaah haji dan umroh sangat besar sehingga menggoda produsen vaksin manapun untuk mengeruk keuntungan. Dari Indonesia saja, jamaah haji mencapai kisaran 250 ribu, belum lagi umroh, yang jumlahnya tiga ribuan perhari ketika situasi sedang normal.
Memang sampai sekarang belum ada kejelasan, apakah pembatasan 11 negara yang dapat masuk ke Arab Saudi untuk menjalankan haji dan umroh terbukti terkait perang vaksin. Namun, sulit diterima akal sehat jika beralasan tentang efikasi vaksin.
Sampai saat ini belum ada vaksin yang sepenuhnya menjamin seseorang dapat bebas dari terinfeksi Covid-19 dan variannya. Semua lebih bertujuan antara lain memperkuat daya tahan tubuh sehingga bila terinfeksi tidak fatal. Beberapa negara yang menggunakan empat vaksin yang dijadikan syarat Arab Saudi terbukti belum mampu mengendalikan pandemi. Negara-negara itu hanya sebatas menekan jumlah terinfeksi.
Data perkembangan penyebaran Covid-19 dalam beberapa bulan terakhir ini makin memperlihatkan bahwa vaksin merek apapun ternyata tidak menjadi jaminan. Bahkan Amerika Serikat, yang memproduksi vaksin yang dipakai pemerintah Arab Saudi sempat mengalami lonjakan mencapai 1000 persen. Demikian pula negara jiran Singapura, yang menggunakan vaksin sama dengan pemerintah Arab Saudi, sempat kelabakan dan melampaui terifeksi di Indonesia. Padahal jumlah penduduk Singapura hanya 5,7 juta, seper 47 penduduk Indonesia.
Pada titik inilah alasan efikasi, jaminan kualitas vaksin dari produk tertentu, termasuk yang dipakai Arab Saudi diragukan. Sekali lagi, karena memang belum ada vaksin yang sampai saat ini menjadikan seseorang dapat terhindar dari terinfeksi Covid-19.
Dugaan pembatasan itu sebagai perang dagang justru makin menguat. Untuk Indonesia misalnya, yang menggunakan vaksin Sinovac dan Astrazaneca, produk Cina, dengan jumlah jamaah haji terbesar, yang tidak mendapat rekomendasi Arab Saudi, terasa aneh. Sampai sejauh ini terbukti penanganan Covid-19 melalui vaksinasi di Indonesia tergolong sangat berhasil.
Sebenarnya jauh sebelum berbagai pembatasan satu negara terhadap kunjungan warga dari negara lain, yang dikaitkan dengan merk vaksin, berbagai provokasi negatif terhadap beberapa merk tertentu memang sempat mencuat di permukaan. Opini-opini tentang efikasi, termasuk mengangkat kasus insiden seseorang yang divaksin meninggal dunia, memperlihatkan kecenderungan sebagai perang dagang merek vaksin.
Tidak salah berbisnis vaksin di era pandemi sekarang. Namun, jika bisnis vaksin kemudian mengganggu apalagi sampai menghalangi aktivitas peribadatan, yang disebabkan persaingan dagang, tentu amat sangat disesalkan. Perilaku bisnis seperti itu sungguh sangat jauh dari nilai kemanusiaan. Benar-benar mengeksploitasi pandemi tanpa memperhatikan kondisi psikologis dan penderitaan masyarakat yang sudah berlangsung hampir dua tahun.
Tentu kita semua berharap perang dagang vaksin tidak benar-benar terjadi dan hanya sekedar persepsi terkait efikasi, jaminan kualitas dan lainnya. Karena itu, Menteri Agama, perlu segera menjajaki dan mencermati serta melobi agar pemerintah Arab Saudi bersikap lebih terbuka menerima jamaah haji dan umroh, dengan tentu saja, tetap mempertimbangkan kepentingan upaya pemutusan pandemi.
Dalam situasi pandemi yang masih berlangsung dan telah meninggalkan nestapa, dampak ekonomi luar biasa, penderitaan psikologis serta kematian dalam jumlah sangat besar, semua pihak selayaknya jangan lagi menambah luka serta penderitaan baru, atas dasar kepentingan mengeruk keuntungan. Kesehatan dan keselamatan manusia harus menjadi prioritas agar kehidupan kembali normal.