Oleh: MH. Said Abdullah
Euforia kebebasan dan aktivitas media sosial di negeri ini sungguh mencengangkan. Pada banyak kasus bahkan sudah sangat berbahaya karena memprovokasi masyarakat akar rumput ke wilayah konflik.
Kasus dugaan penghinaan dan penyebaran berita bohong yang menyeret Bahar Smith menjadi contoh aktual perilaku kebablasan. Dengan tanpa rasa bersalah mantan narapidana itu membombardir jamaah pengajian dengan hinaan kepada Presiden Jokowi dan berbagai informasi berbahaya, yang jauh dari bukti obyektif.
Bisa dibayangkan dampak sosialnya terhadap ketenangan dan kedamaian masyarakat serta pengaruh negatif pada budaya Nusantara. Masyarakat diprovokasi atas dasar informasi jauh dari bukti kongkrit. Pikiran dan perilaku masyarakat dirusak berbagai ujaran kebencian dan penghinaan kepada pemimpin.
Mereka melakukan berbagai provokasi dan penyebaran informasi yang jauh dari obyektif beralasan sebagai ekspresi demokrasi. Lalu, ketika kemudian diproses hukum berteriak sebagai matinya keadilan dan demokrasi di negeri ini. Sebuah manipulasi informasi dan distorsi pemikiran, untuk mengelabui masyarakat.
Masyarakat dijejali opini seakan penyebaran informasi bohong adalah bagian dari demokrasi. Mereka memplintir penghinaan sebagai kebebasan berdemokrasi serta menyampaikan pendapat. Lalu, ketika aparat hukum bertindak karena sudah terlalu jauh melanggar UU, mereka berteriak tentang keadilan hukum. Ironisnya, sebelum diproses hukum yang bersangkutan berteriak “Silahkan tangkap, tidak takut.”
Mengkritisi pemerintah merupakan keniscayaan dalam berdemokrasi. Kritik bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan demokrasi. Kritik dan dukungan ibarat dua sisi mata uang logam yang tak terpisahkan dalam iklim demokrasi.
Kritik dalam prosesnya harus didasarkan fakta-fakta obyektif. Lebih bagus lagi jika disertai alternatif solusi sehingga kritik beranatomi konstruktif.
Mengkritisi berdasarkan data-data jauh dari kebenaran apalagi disampaikan dengan nuansa provokasi, bukan hanya terindikasi penyebaran fitnah. Perilaku itu bisa masuk ranah mengadu domba masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Mengkritisi sangat berbeda dengan tindakan penghinaan apalagi mengumpat. Mengkritisi memberikan koreksi terhadap obyek yang salah lalu ditunjukkan jalan yang dianggap benar.
Penghinaan dan umpatan bertolak belakang dengan kritik. Mengkritisi dilindungi dan dijamin oleh UU sedang penghinaan dan umpatan jelas diancam hukuman juga dengan UU.
Begitulah demokrasi yang sehat dan bermartabat. Ada rambu-rambu yang sangat jelas sebagai bagian mewujudkan kehidupan masyarakat yang tertib, damai dan berperadaban.
Betapa bebas menyampaikan pendapat di negara Eropa seperti Jerman. Namun sekali seseorang menyampaikan berita bohong, apalagi menghina, siap-siap akan menghadapi sanksi hukum berat.
Di negara kampiun demokrasi, Amerika Serikat, siapapun bebas berteriak menyampaikan pendapat, mengkritisi. Tapi jangan coba-coba menyebar berita bohong. Akan ada konsekwensi hukum baik pidana maupun perdata.
Penulis sulit membayangkan jika berbagai informasi tidak jelas datanya, penghinaan dan umpatan terjadi di negara Timur Tengah seperti Arab Saudi. Mengkritisi sedikit saja harus menghadapi resiko ditangkap apalagi menghina dan mengumpat pucuk pimpinan. Dijamin, pelaku akan digantung di tempat terbuka.
Sejujurnya, sebagian masyarakat tidak bersyukur dengan kondisi negeri ini di era sekarang. Dibanding era Orba saja berbeda. Di masa itu sedikit saja mengkritisi pemerintah akan ada resiko dipenjara tanpa proses hukum bahkan resiko dilenyapkan tanpa bekas terutama sebelum tahun 1990an.
Mari jaga proses demokrasi yang terus membaik. Silahkan mengkritisi pemerintah setajam-tajamnya. Yang terlarang menfitnah, menghina, menebar kebencian untuk menciptakan konflik. Bagaimanapun kepentingan menjaga kedamaian dan keutuhan NKRI tak dapat ditawar; merupakan harga mati.