Oleh: MH. Said Abdullah
Masih sering di negeri ini muncul lontaran pemikiran dan pernyataan yang mempertentangkan agama dan budaya. Ironisnya, perilaku mencerminkan pemikiran sempit itu sering dilakukan mereka yang secara pemahaman keagamaan tergolong elite. Berstatus penceramah, ustadz bahkan disertai embel-embel gelar pendidikan formal mentereng.
Belakangan kecenderungan mempertentangkan agama dan budaya merebak melalui penyebaran pemahaman keagamaan salafi wahabi. Sebuah pemahaman keagamaan, yang secara akademis diketahui sangat tekstual, kaku, sempit dan cenderung menyalahkan mereka yang sedikit saja berbeda. Pada tingkat serius, tak jarang mereka menjelma menjadi kelompok takfiri, mudah mengkafirkan masyarakat yang kadang sedikit saja berbeda pemahaman keagamaan.
Yang paling aktual ketika menganggap wayang haram dan perlu dimusnahkan. Sebelumnya, sempat beredar anggapan makanan klepon tidak Islami, melarang merayakan ulang tahun dan masih banyak lagi lainnya.
Menarik mencermati pola pikir mereka terkait relasi agama dan budaya, yang memperlihatkan kecenderungan sangat menggelikan. Mereka menilai budaya, yang sebenarnya tidak memiliki kaitan dengan aktivitas keagamaan namun dipersepsikan dari sudut pandang agama. Contoh paling riil wayang, yang lagi ramai belakangan ini. Apa hubungan wayang dan ajaran peribadatan (ubudiyah) keislaman? Bukankah wayang posisi aslinya sekedar sebuah instrumen budaya, hiburan. Bahwa kemudian pada tingkat serius dijadikan sarana pendidikan dan bahkan dakwah oleh para Wali Songo lebih sebagai strategi dakwah.
Wayang dan berbagai aktivitas budaya lainnya sangat jelas, sering sama sekali tidak memiliki persambungan peribadatan. Itu artinya, sesuatu yang jauh dari persambungan agama dipersepsikan kemudian divonnis atas dasar parameter agama.
Jelas menggelikan ketika menganggap makanan klepon tidak Islami. Mungkin masih dapat diterima akal sehat jika klepon dibuat dari bahan yang dianggap haram ajaran agama Islam.
Terlihat kerancuan pemikiran mereka. Budaya, yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan peribadatan namun lucunya dinilai menggunakan parameter agama.
Banyak aktivitas budaya, yang telah lama menjadi kebiasaan masyarakat, yang sebenarnya tidak memiliki kaitan dengan peribadatan tiba-tiba diletakkan seakan salah satu bentuk peribadatan. Bersalaman seusai sholat dapat dijadikan contoh ekstrim tentang kekacauan logika itu.
Berjabat tangan, bersalaman merupakan budaya masyarakat negeri ini, yang sangat lama dengan berbagai varian sesuai kekhasan kedaerahan. Masyarakat Betawi memiliki cara bersalaman unik, berbeda dengan masyarakat Batak, Madura, Minangkau dan lainnya. Kebiasaan bersalaman ini pada masyarakat yang beragama Islam, demikian mengental sehingga aktivitas apapun ketika bertemu seseorang tak lupa bersalaman. Misalnya, ketika berada di masjid. Masuk masjid bersalaman, usai sholat bersalaman, pulang dari masjid bersalaman. Tak ada masalah.
Lalu tiba-tiba muncul pemahaman agama salafi wahabi, yang memposisikan salam bersalaman usai sholat sebagai peribadatan. Namun, karena mereka tidak menemukan ayat al Quran dan hadist, kemudian dengan gagah ‘menvonnis’ bersalaman usai sholat sebagai bid’ah. Pertanyaannya, siapa suruh memposisikan salam bersalaman usai sholat sebagai peribadatan (ubudiyah). Masyarakat muslim selama ini menganggap bersalaman sebagai budaya, keramahan, tata krama keseharian. Tidak ada pemikiran bersalaman sebagai bentuk peribadatan apalagi jadi bagian dari sholat. Mereka menganggap sebagai tata krama sosial, yang insya Allah, akan bernilai kebaikan.
Paradigma berpikir seperti inilah yang disebarkan di tengah masyarakat. Memandang segala aktivitas budaya secara salah kaprah lalu menganggap sebagai ibadah dan terakhir menvonnis sebagai bid’ah. Ini sama saja, ada penonton sepakbola sedang menikmati makanan, lalu dianggap bagian dari aktivitas formal sepakbola dan terakhir divonnis bertentangan dengan peraturan permainan sepakbola. Terlihat kengawuran cara berpikirnya.
Secara sosiologis Islam turun di Arab tidak dalam ruang kosong budaya. Beberapa budaya ekstrim, yang bertentangan nilai kemanusiaan seperti mengubur bayi perempuan hidup-hidup memang dilarang setelah Islam turun. Budaya mewariskan istri kepada anak juga dilarang. Namun jauh lebih banyak budaya Arab yang tetap dibiarkan berjalan tanpa dihalangi ajaran Islam. Bahkan tawaf mengelilingi ka’bah, yang merupakan bentuk peribadatan sebelum Islam turun, tetap dipertahankan dengan berbagai modifikasi seperti membuang kebiasaan bertawaf telanjang.
Salah satu ayat Al quran memperlihatkan bukti betapa penting budaya menjadi alat dakwah. Sampaikanlah kebenaran dakwah dengan menggunakan bahasa kaum, bahasa yang hidup di tengah masyarakat. Ini menegaskan betapa proses akulturasi, persentuhan Islam dan budaya, bukan hal aneh.
Dalam surat 14 ayat 4 Al Quran menegaskan, “Kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” Sebuah penegasan yang memberi gambaran bahwa budaya, dapat menjadi sarana dakwah, seperti telah dicontohkan di negeri ini oleh Wali Songo. Jadi, jangan pertentangkan agama dengan budaya, yang hidup di tengah masyarakat. Isilah budaya dengan pesan-pesan kebaikan. Kecuali jika memang budaya ternyata bertentangan dengan nilai kemanusiaan, sehingga agama apapun diyakini akan berusaha mengembalikan dan memodifikasi memberikan nilai kebaikan. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.