Oleh : Miqdad Husein*
Ia bernama Bernhard Platzdasch, pemuda berkebangsaan Jerman yang saat itu sedang menyusun disertasi. Saya kenal secara kebetulan dan tak terduga. Mahasiswa doktoral The Australian National University itu, menghubungi saya karena tulisan berjudul Desakralisasi Piagam Jakarta, di Group Republika sekitar pertengahan tahun 2000. Ia meminta waktu wawancara terkait tulisan saya itu, yang agaknya berhubungan dengan disertasi yang sedang disusunnya. Sekitar empat jam dalam dua kali kesempatan saya diwawancarai panjang panjang lebar terkait Islam politik di negeri ini.
Saat santai saya sempat bertanya, berapa lama belajar dan berada di Indonesia kok bahasa Indonesianya sangat bagus. Ia tidak menjawab pertanyaan saya; sebaliknya justru nyerocos tentang penggunaan bahasa Indonesia di negeri ini. Ia lebih tertarik memberikan komentar kebiasaan pejabat negeri ini yang berpidato menggunakan bahasa Inggris, dalam forum resmi yang diadakan di Indonesia. “Tak akan ada pejabat Jerman, dalam pertemuan yang diadakan di Jerman, yang menggunakan bahasa selain bahasa Jerman,” katanya. “Itu pantangan besar,” tambahnya.
Saya sempat agak terpana. Merasa sedikit diutak-atik nasionalisme saya. Terbayang deretan pejabat yang merasa begitu gagah berpidato menggunakan bahasa Inggris di forum resmi, di negeri ini. Kalau soal sikap masyarakat Jerman seperti dituturkannya, merupakan hal biasa. Sudah jadi rahasia umum masyarakat Jerman sangat luar biasa semangat nasionalisme. Bahkan cenderung agak berlebihan hingga lahir sosok-sosok sejenis Hitler.
Empat belas tahun kemudian, di tahun 2014 ini, saya kembali terperangah dengan kejadian agak mirif ketika sebuah pesan dari seorang kawan sampai di ponsel. “Saya punya teman yang anak-anaknya lulusan sekolah internasional, beramtem di rumah pakai bahasa Inggris, barang-barang/peralatan rumah lebih tahu namanya dalam bahasa Ingris. Ibunya marah dan berkata, kamu ini orang Indonesia. Orang Sunda. Kenapa jadi pakai bahasa Inggris. Si ibu merasa kehilangan sekali,” demikian isi pesannya.
Si Ibu dan Bernhard dengan melihat latar belakang sosialnya, sudah pasti bukan orang kebanyakan. Bernhard sendiri menguasai sangat baik bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Tapi ia seperti juga ibu tetap tak mau kehilangan identitas. Bernhard begitu bangga dengan bahasa Jerman yang menjadi identitas sebagai bangsa Jerman; persis kata pepatah bahasa menunjukkan bangsa.
Pengetahuan, termasuk bahasa asing sah saja dipahami tanpa menggerus identitas diri sebagai warga negara Indonesia. Tak ada yang salah belajar dari bangsa manapun karena dari pengetahuan akan membangkitkan konfidensi dan bukan sebaliknya memunculkan bibit-bibit jiwa inferior seperti banyak ditemui di tengah masyarakat belakangan ini.
Sekolah internasional sejenis JIS, sisa ekspor, produk impor begitu mudah menjadi alat penarik minat, karena masih subur mental inferior. Padahal sering berbagai merk berbau luar tak lebih dari sekedar tempelan yang kadang menipu. Cerita ole-oleh jamaah haji, yang ternyata produk dalam negeri, mudah ditemui di tengah masyarakat. Lagi-lagi menggambarkan betapa mental menganggap sesuatu dari “luar” sangat hebat, masih jadi penyakit sebagian masyarakat di negeri ini. Yang mengemuka bukan semangat belajar meningkatkan kualitas diri tapi lebih banyak ingin menjadi seperti “mereka.” Dan kata pepatah bijak, tak ada yang meniru lebih baik dari yang ditiru.
*Kolumnis, tinggal di Jakarta