Oleh : Miqdad Husein*
Sakit di negeri ini tak hanya masih mahal tapi juga ribet. Sebagian rakyat kecil jika terkena musibah sakit harus pontang-panting “mengembara” dari Rumah Sakit (RS) satu ke lainnya. Fasilitas dan jaminan kesehatan melalui BPJS yang digadang-gadang meringankan beban sakit masyarakat, ibarat makanan, masih setengah mateng. Belum siap saji dan tak bisa langsung dapat dinikmati.
Kehadiran BPJS secara normatif memang memberi harapan bagi masyarakat dalam mengatasi persoalan kesehatan. Melalui kesertaan asuransi kesehatan itu beban masyarakat relatif berkurang. Masyarakat tak perlu lagi menghadapi kesulitan biaya jika sakit. Dengan cukup membawa kartu keanggotaan masyarakat dapat mendatangi Puskesmas tanpa perlu mengeluarkan biaya lagi, lalu jika secara medis memang perlu mendapat perawatan lanjutan, dapat dirujuk ke RS yang bekerja sama dengan BPJS.
Sangat sederhana dan tampak mudah, jika mencermati mekanisme dan proses normatifnya. Namun persoalan mencuat ke permukaan ketika sampai pada tataran pelaksanaan. Berbagai kasus muncul ke permukaan terutama dalam proses pelayanan di RS. Banyak pasien yang mendapat pengantar untuk proses penanganan kesehatan lanjutan ternyata sering dihadapkan kenyataan ditolak RS. Alasannya klasik, kamar penuh di kelas yang sesuati tingkatan kartu. Masyarakat karena keterdesakan biasanya terpaksa meminta kamar kelas yang lebih tinggi tentu dengan konsekwensi membayar tambahan.
Di kalangan PNS, yang memegang kartu Askes, kasus-kasus sejenis sudah sering terdengar. Dalam kasus Askes sempat muncul bumbu persoalan lain karena keterlambatan pembayaran ke RS sehingga alasan kamar penuh sering menjadi alat mengelak dari RS. Maklum saja, RS membutuhkan biaya operasional sementara pembayaran dari Askes sering terlambat sehingga mengganggu kinerja RS. Pemerintah sempat mengatasi keterlambatan pembayaran dengan cara membayar langsung pada RS rekanan.
Secara obyetif memang tidak mudah mengatasi berbagai hambatan BPJS pada tataran pelaksanaan terutama terkait pelayanan RS. Di satu sisi ada kegairahan luar biasa dari masyarakat untuk menjadi peserta BPJS. Namun di sisi lain, hambatan klasik terkait masih adanya penolakan pasien sering terdengar nyaring. Ini berakibat merebaknya ketakpercayaan masyarakat baik pada RS maupun pada BPJS sehingga proses peningkatan kesehatan masyarakat kurang optimal.
Perlu ada terobosan terkait kasus klasik kamar penuh itu melalui keterbukaan sistem dari RS sehingga masyarakat dapat memahami kondisi riil. Betapapun tak semua RS bersikap kurang ramah atau katakanlah bermain-main, untuk mengeruk keuntungan.
Dengan keterbukaan informasi misalnya, melalui sistem komputerisasi online yang dapat diakses masyarakat akan mengurangi pertama, kemungkinan RS tergoda tindakan-tindakan nakal. Data-data dapat terlihat jelas apakah memang masih ada ruang atau kamar perawatan pasien.
Kedua, dengan akses informasi terbuka itu masyarakat tak lagi berprasangka terkait katakanlah misalnya ada penolakan pasien. Bahwa secara fakta riil, penolakan RS itu memang karena keterbatasan ruang perawatan RS bersangkutan. Kamar memang penuh terisi pasien. Tak ada lagi dusta di antara RS dan pasien.
Keterbukaan akan menumbuhkan pengertian, pemahaman masyarakat serta diharapkan mendorong perbaikan dalam pelaksanaan. Jadi tak berkembang luas sikap saling curiga.
*) Kolumnis tinggal di Jakarta