Oleh : Said Abdullah*
Komplekstitas persoalan di negeri ini sangat luar biasa terutama terkait kemiskinan sebagian besar masyarakat. Beban akibat kebijakan pemerintahan di masa lalu, yang lebih mengedepankan pertumbuhan ketimbang pemeratan mewujudkan peta kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, yang sejujurnya sangat carut marut; jurang kaya miskin menganga begitu lebar.
Tak usah mengerahkan pemikiran seriuspun terpapar ketimpangan luar biasa dari fatkta sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Yang paling mencolok ketika sembilan persen penduduk negeri ini ternyata menguasai sekitar 71 persen PDB Indonesia yang Rp. 11.000 trilyun. Sedang sebagian besar penduduk yaitu 91 persen, hanya menikmati 29 persen PDB. Sebuah fakta mencolok tentang problem pemerataan dan keadilan di negeri ini.
Lalu lihatlah angka kemiskinan dari data tahun 2013. Yang tergolong masyarakat miskin dengan penghasilan Rp. 9800/orang perhari berjumlah 28 juta KK. Yang rentan miskin dengan penghasilan Rp. 11.800/orang perhari 28 juta KK. Jika diasumsikan tiap KK terdiri dari 3 orang, itu artinya jumlah rakyat miskin dan rentan miskin sekitar 168 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 248 juta jiwa.
Ketakadilan dan problem pemerataan itu tampak lebih jelas dari data terkait pajak. Potensi dana pemerintah itu secara tragis justru lebih banyak dikemplang mereka yang tergolong memiliki kemampuan ekonomi. Dari 19 juta wajib pajak, ternyata yang membayar pajak hanya sekitar 1 juta. Hanya sekitar 5 persen. Yang 95 persen mengelak, lari dari tanggungjawab pajak. Jadi mereka tak hanya menikmati kekayaan relatif baik tapi juga melabrak kewajiban membayar pajak.
Terlihat persambungan problem kemiskinan dengan ketakadilan serta faktor-faktor riil terkait antar lain ketaktaatan wajib pajak, sehingga mempersulit pemerintah dalam mengatasi problem kemiskinan. Masyarakat miskin kurang optimal mendapat perhatian karena keterbatasan keuangan pemerintah akibat perilaku lebih dari 95 persen wajib pajak, yang tak mau membayar pajak.
Yang menarik, seperti dikatakan Unicef; di negeri ini tuntutan pada pemerintah sangat luar biasa. Namun ironisnya, pada saat yang sama, mayoritas wajib pajak lari dari tanggungjawab jawab untuk membayar pajak. Padahal, di dunia ini dana dari pajaklah yang menjadi salah satu sumber utama pembiayaan pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan sosial.
Di luar persoalan pajak pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) juga potensial menggerus pemasukan yang seharusnya diterima pemerintah. Menurut anggota BPK BahrullahAkbar setiap tahun ada sekitar 1,7 milyar US Dollar, yang hilang dari bagian pemerintah dari kontraktor-kontrak kerjasama Indonesia (K3S) Migas. Jumlah tersebut, menurut Bahrul, berasal dari perhitungan “cost recovery” yaitu biaya dalam tahap eksplorasi (mencari cadangan migas) sampai biaya dalam tahap produksi yang tidak sesuai peraturan ataupun dibayar tidak dengan uang melainkan dengan minyak, padahal “cost recovery” dikeluarkan jauh sebelum minyak dihasilkan. Angka-angka dari potensi kerugian negara dari pengelolaan SDA itu masih bisa dideret panjang lagi seperti terkait pajak pengelolaan SDA, penyelundupan dan lainnya.
Tergambar paradoks luar biasa dari kondisi negeri ini. Di satu sisi banyak potensi keuangan negara yang diduga dikemplang dari berbagai sektor dan di sisi lain lebih dari 50 persen penduduk, mengalami kesulitan ekonomi. Ada potensi kekayaan luar biasa, yang dinikmati sebagian kecil warga negara, termasuk yang disalahgunakan namun ada nestapa yang tersebar luas. Sebuah peta sosial yang menjadi pekerjaan berat pemerintah mendatang.
*) Anggota DPR RI, asal Madura