Oleh : Said Abdullah*
Drama voting terkait UU Pilkada di DPR, sudah ketahuan hasilnya, dengan diputuskannya Pilkada tak langsung. Kepala Daerah berdasarkan UU baru itu kini kembali dipilih DPRD. Ini berarti secara formal bangsa Indonesia diakui atau tidak seperti setback, mundur dalam mengembangkan kehidupan demokrasi. Dinamika demokrasi yang sudah berjalan relatif baik melalui pemilihan langsung oleh rakyat mengerucut kembali hanya dimainkan anggota DPRD.
Hak-hak rakyat dikebiri, begitu antara lain diteriakkan pejuang demokrasi. Anggota DPR yang mendukung Pilkada tak langsung merampas hak-hak politik rakyat, kata pejuang demokrasi lainnya. Peran dan kewenangan rakyat satu-satunya, dalam menentukan pemimpin dan arah perjalanan daerah terampas. Tak ada lagi ruang ekspresi demokrasi asli rakyat di daerahnya.
Secara kasat mata sebenarnya sulit memahami perubahan sistem pemilihan kepala daerah itu. Jika didasarkan pemikiran Pilkada langsung rawan praktek politik uang, pemilihan melalui DPRD tak berbeda jauh. Bahkan, pemilihan melalui DPRD lebih membuka ruang praktek politik uang. Seperti ditegaskan Wakil Ketua KPK Busro Muqoddas, pemilihan melalui DPRD justru rentetan politik uang bisa berjalan lebih lama. “Kepala Daerah bisa dengan mudah menjadi ATM anggota DPRD yang memilihnya,” katanya.
Alasan cost tinggi sebenarnya bisa disiasati dengan pemilihan kepala daerah serentak, yang sudah dimasukkan dalam pasal-pasal UU itu. Demikian pula terkait kemungkinan merebaknya potensi apatisme politik masyarakat bisa dikurangi melalui pengaturan Pilkada serentak,yang direncanakan dimulai tahun 2018 mendatang. Menyangkut konflik horizontal yang selama ini dikhawatirkan tak cukup beralasan. Karena Pilkada yang menimbulkan konflik persentasenya sangat kecil dibanding yang berjalan damai.
Benar bahwa dalam pelaksanaan sistem Pilkada langsung masih ada kekurangan. Namun seharusnya perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum secara mendasar dirobah dengan sistem tidak langsung. Logika memaksakan perubahan sistem secara mendasar menggambarkan keterjebakan penyederhanaan masalah.
Jika cara berpikir seperti ini yang dikembangkan, sedikit ada kekurangan dirobah sistemnya, apalagi belum ada upaya maksimal perbaikan, sangat berbagai pelaksanaan kebijakan di negeri ini, yang sedikit saja ada kekurangan, timbul masalah di tataran teknis, dirombak total. Persis seperti penanganan kurikulum pendidikan di negeri ini, yang bukan perbaikan pelaksanaannya yang dilakukan jika terjadi hambatan, tapi kurikulumnya yang dirombak total. Tak aneh bila muncul istilah ganti menteri ganti kurikulum.
Begitulah bila mengembangkan cara berpikir pendek; main gampang dan mencari jalan instan. Bukan terlebih dahulu diupayakan mencari akar masalah, lalu diperbaiki, dibenahi. Yang dikedepankan penyelesaian melalui perubahan kebijakannya padahal ketika berubahpun tak ada jaminan masalah yang sama tak akan muncul.
Ada nuansa bersikap seakan seperti burung onta. Menghindari masalah dan bukan menyelesaikan masalah. Merobah kebijakan dengan kebijakan lainnya dan bukan mengurai hambatannya. Lari dari satu persoalan ke persoalan lainnya. Hasilnya sangat mungkin bukan perbaikan tapi besar kemungkinan masalah baru dalam bentuk berbeda muncul. Mirif terjebak hutang diselesaikan dengan hutang. Gali lobang tutup lobang, jadinya. Menyelesaikan masalah dengan masalah.
*) Anggota DPR RI, asal Madura