Oleh : Abrari Alzael*
Sebagian besar publik menghendaki lahirnya bangsa masa depan yang lebih baik, bangkit, berkualitas dan hebat. Bangsa masa depan dapat dibaca dari tanda-tanda alam saat ini. Ketika kekinian menampilkan kenyataan yang suram, dapat dipastikan keburaman akan tiba pada saatnya, diminta, atau tidak dikehendaki.
Mengamati kekinian, agak sulit menjadikan kemasadepanan bangsa seperti yang diharapkan banyak pihak. Sebab yang terjadi, bukan saja anomali. Tetapi abnormalitas dan absurditas menghiasi hari-hari dari sudut pandang manapun. Serasa, tidak ada lagi yang bisa diharapkan, kecuali ketidakharmonisan masa depan yang seakan tampak di depan mata. Ini bukan apatisme-futuristik, melainkan rekabumi yang tidak didesain dari awal dimana negara berkembang biak dalam teori katak rebus.
Kelahiran bangsa masa depan ibarat seorang ibu yang menderita distosia, mengalami persalinan yang sulit sebab memiliki karakteristik persalinan yang abnormal. Ini terjadi lantaran terdapat disproporsi antara ukuran bagian terbawah janin dengan jalan lahir. Selain itu, pada presentasi kepala, distosia menjadi indikasi paling umum saat ini terutama dalam seksio sesaria primer.
Distosia bangsa akan bermetamorfosis manakala terjadi perubahan prilaku sebentuk revolusi mental dari pribadi lalu mengendemis, menjelajah setiap individu. Keretakan bangsa tidak saja bisa dinilai dari keseluruhan komponen. Ia bisa diamati dari prilaku antarkeluarga. Manakala antarkeluarga dilanda disharmoni secara massif, negeri ini, tanpa harus diberitahu, telah menjelaskan dirinya sebagai bangsa yang terserak. Hari ini, semua warga melihat dirinya sendiri dalam cermin yang retak.
Negeri ini berada dalam perang yang luar biasa dimana semua orang menyelamatkan dirinya sendiri karena lupa pada dirinya sendiri. Perang ini akan terus terjadi, sepanjang hayat manusia. Sebagai geografis yang dilanda psywar, perang tidak bisa dihentikan karena ia hanya bisa ditunda. Ketika zaman ini memuakkan manusia, perang menjelajah pembangunan, teknologi, politik, hukum, ekonomi dan bisnis. Setiap individu, pada akhirnya akan mempertahankan diri, dengan caranya sendiri. Ketika ini terjadi, negara melenyap dan tuhan membusuk di setiap jiwa.
Oleh sebab itu, benar apa yang disampaikan William E.Daugherty and Morris Janowitz dalam A Psychological warface casebook yang menyebut perang urat saraf setara propaganda dan agitasi untuk mempengaruhi emosi dan sikap untuk mencapai tujuan. Hanya, bangsa ini menjadi celaka manakala sasaran yang dituju pun ambruk, dan bangsa berlalu dalam galau mood on.
Tanah ini mungkin lupa bahwa bangsa yang besar pun pada akhirnya terjerembab apabila alpa diri. Pada cerita fable, Mesir yang lantang itu, runtuh karena kucing. Ketika warga Mesir Kuno sangat menyayangi kucing, negara menetapkan hukum mati bagi siapapun yang membunuh kucing. Padahal, saat itu, Mesir Kuno merupakan negara besar, tiada banding, tiada tanding.
Ketika Persia berperang melawan Mesir Kuno, panglima angkatan bersenjata Persia memerintahkan serdadunya untuk membawa kucing. Oleh karena Mesir Kuno sangat sayang kucing dan takut melanggar hukum, mereka terganggu dalam perang melawan Persia. Sampai akhirnya, Mesir Kuno hancur justru lantaran terlalu sayang terhadap kucing dan lupa diri dalam situasi perang sekalipun. Semua tahu, kegemaran bangsa ini tidak hanya gemar memelihara kucing, namun tikus juga, koruptor, narkoba, kupu-kupu, bunga, dan nyaris semuanya hingga lupa mau apa, alpa hendak ke mana dan mau melahirkan apa. (*)
*) Budayawan Muda Madura