Oleh : Said Abdullah*
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan representasi rakyat; bukan golongan, bukan partai apalagi individu. DPR bukan cerminan dari pribadi-pribadi anggotanya. DPR merupakan institusi politik kolektif kolegial.
Pimpinan DPR pun bukanlah atasan anggotanya. Pimpinan yang bersifat kolektif itu tak lebih dari moderator atau di negara maju disebut sebagai speaker, juru bicara. Karena itu pimpinan selalu bersikap dan menyampaikan pendapat terkait DPR atas dasar keputusan DPR. Tak bisa berbicara secara pribadi bahkan mewakili sebatas pendapat pimpinan DPR. Semua yang bermuara dari DPR merupakan resultan dari kolektivitas DPR.
Saat pemilu legislatif antar partai atau pribadi para calon legislatif bisa saja bersaing memperebutkan kepercayaan rakyat. Namun ketika sudah berada di DPR baju partai, baju pribadi ditanggalkan. Semua menyatu dalam barisan kebersamaan sebagai kekuatan penyeimbang eksekutif; dari manapun berasal. Termasuk katakanlah secara ideal, mereka yang dari partai sama dengan partai pemerintah.
Dengan anatomi itulah DPR menjalankan fungsi dan perannya sebagai legislatif. Kebersamaan dan kesatuan terbangun. Sedikit saja anggota DPR terbagi dalam berbagai kelompok akan melemahkan kekuatan kontrol DPR pada eksekutif.
Kepentingan rakyat, yang diwakili menjadi faktor dan pendorong utama DPR bekerja. Baik dalam bidang legislasi, bugeting dan kontrol. Semua diarahkan pada tujuan seoptimal mungkin memenuhi kepentingan dan harapan rakyat.
Karena itu terasa aneh ketika di awal sidang DPR periode 2014-2019 yang baru dilantik pada awal Oktober lalu itu mengemuka arus deras kepentingan kelompok, apapun namanya. Apalagi ketika pengelompokan itu sampai pada pembentukan alat kelengkapan. Padahal alat kelengkapan DPR sendiri merupakan kelompok berdasarkan bidang kerjanya. Ini artinya, jika ada pengelompokan atas dasar kepentingan pada alat kelengkapan DPR, sama saja ada kelompok dalam kelompok yang ujungnya dapat melemahkan kinerja DPR.
Suasana dalam bentuk pengelompokan pendapat ini jelas kurang sehat untuk mewujudkan peningkatan kinerja DPR yang saat ini sangat diharapkan masyarakat. DPR bisa terjebak “perseteruan” internal hingga melemahkan kekuatan legislasi, bugeting dan kontrol DPR. Kinerja DPR bisa tertatih-tatih karena berjalan di atas kerikil pengelompokan tajam.
Sebagai institusi politik kolektif kolegial DPR baru selayaknya bersikap seperti apa yang disebut Mantan Ketua MK Jimly Asshiqqie harus segera move on. Tidak terjebak lagi pada euforia kemenangan dan kekecewaan pasca Pilpres. Proses Pilpres dan Pileg sudah berlalu dan seharusnya DPR berjalan atas dasar konsepsi kebersamaan, bukan justru terjebak dalam pengelompokan pendapat bernuansa kompetisi di masa lalu. Apalagi diwarnai aroma politik balas dendam.
Persoalan bangsa Indonesia saat ini begitu kompleks dan perlu penyelesaian segera. Tak ada waktu berlama-lama berada dalam perseteruan yang jauh dari produktif yang didasarkan hanya sekedar persoalan ceremony; berebut kepemimpinan yang sebenarnya tak lebih dari pengatur mekanisme kerja dan bukan strata hubungan atasan dan bawahan.
Jangan lupa, kompleksitas persoalan bangsa Indonesia, tak akan dapat diselesaikan oleh satu kelompok dengan meninggalkan kelompok lain. Berbagai kekuatan kelompok itu harus saling mengisi, bekerja sama sehingga terwujud energi besar untuk segera membawa negeri ini menuju masa depan lebih baik.
*) Anggota DPR RI, asal Madura