JAKARTA-Rohaniwan Katolik, Romo Beny Susetyo meminta Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) untuk menghindari politik balas jasa. Sebab dikhawatirkan hal tersebut akan menyebabkan korupsi merajalela. “Jika ada politik balas jasa, akan terjadi politik transaksional, maka korupsi akan merajalela,” kata Romo Beny dalam sebuah diskusi di Gedung Joeang 45, Jalan Menteng Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/10).
Romo mengatakan, tidak ada ketakutan yang muncul pada dirinya jika Jokowi-JK, kendati hanya mendapatkan dukungan yang kecil di parlemen. Calon-calon yang mengisi kabinet Jokowi-JK nantinya harus bersih dari indikasi korupsi.
Romo menilai, pada kesempatan inilah peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) muncul. “KPK harus transparan, harus bicara ke publik siapa saja calon menteri yang terindikasi. Agar publik bisa mengontrol,” kata dia.
KPK, kata dia, harus mampu mengawal demokrasi. Jika politik Indonesia dapat dibersihkan dari mafia-mafia dan KPK dapat menjalankan peranannya, republik ini dapat terselamatkan. “Jika KPK ragu, republik ini akan hancur,” tandasnya.
Sementaraitu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi meminta Presiden terpilih Jokowi membentuk kabinet yang mengedepankan meritokrasi. Hal itu menyusul terbelahnya kekuatan eksekutif dan legislatif pasca-Pilpres 2014. “Pemerintahan yang terbelah antara kekuatan di eksekutif dan legislatif seharusnya menjadi pemicu buat Jokowi membentuk kabinet yang mengedepankan meritokrasi. Yakni menempatkan the right persons in the right place,” kaya Burhanuddin di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat, Minggu (19/10).
Dia menjelaskan, Jokowi perlu membentuk kabinet kerja yang diisi kalangan ahli yang kompeten dan memiliki jam terbang tinggi, tapi juga punya topangan politik memadai. “Tiga tahun pertama, pemerintahan Jokowi-JK harus berani mengambil kebijakan yang tidak populis, tapi baik bagi kepentingan bangsa ke depan,” ucapnya.
Burhanuddin berpendapat, sektor yang perlu ditingkatkan Jokowi antara lain pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas, naiknya defisit anggaran, infrastruktur yang terbengkalai, dan membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tidak tepat sasaran. “Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) besar di tengah menguatnya oposisi di parlemen,” tambah Burhanuddin.
Karena itu, tegas Burhanuddin, disiplin koalisi di tubuh Koalisi Indonesia Hebat harus menjadi modal penting dalam menghadapi isu-isu yang tidak populis seperti kenaikan harga BBM. (GAM/ABD)