BANGKALAN – Pemberlakuan Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik (KIP) sejatinya sudah lama disahkan dan diberlakukan. Namun kenyataannya masih belum maksimal dipahami. Di samping masyarakat masih banyak yang tidak mengetahui akan pentingnya kebutuhan informasi yang dikuasai oleh badan publik. Badan publik sendiri terkesan belum siap akan hal itu.
Padahal undang-undang tersebut sebagai payung hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan informasi publik yang menjadi haknya. Hal itu diakui oleh Komisi Informasi (KI) selaku lembaga yang menjadi penengah akan kebutuhan informasi antara masyarakat publik sendiri dengan badan publik. Banyak badan publik yang masuk dalam sengketa informasi lantaran dinilai menutup-nutupi kebutuhan informasi publik.
Dengan UU itu seharusnya legalitas asas-asas transparansi birokrasi atau badan publik menyangkut hak-hak masyarakat harus dipenuhi. Pentingnya untuk mengontrol dan mengakses informasi tentang kinerja birokrasi atau badan publik (badan publik negara atau badan publik selain negara) serta kinerja pejabat-pejabat publik. Otomatis, seluruh penyelenggaraan pemerintah atau badan publik dapat diawasi secara langsung oleh masyarakat. Fungsinya agar badan publik semakin sulit untuk melakukan penyalahgunaan anggaran.
“Seperti contoh dalam soal pengadaan barang di suatu lembaga berdasar UU KIP, publik berhak mengetahui barang apa yang dibeli serta harganya. Dengan itu bisa mempersulit terjadinya mark up terhadap pengadaan itu,” kata Aliman Haris, Komisioner Komisi Informasi (KI) Bangkalan, saat menjadi pembicara Diskursus Serikat Tani Mandiri, kemarin (30/10).
Dalam implikasinya, semua lembaga pelayanan publik memiliki tanggung jawab untuk transparan dan membuka sebesar-besarnya kebutuhan informasi. Akan tetapi, masih ada saja badan publik yang sembuny-sembunyi menyangkut kebutuhan informasi. Meskipun, ada beberapa informasi yang dikecualikan, jika itu menyangkut keamanan negara dan hak privat yang telah diatur undang-undang.
“Jadi siapapun bebas mengakses informasi kepada badan publik, untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang,” jelasnya.
Kenyataannya, keengganan badan publik untuk buka-bukaan terkait informasi masih banyak terlihat. Sehingga, ujungnya masyarakat atau kelompok menyengketakan hal itu kepada komisi informasi (KI). Political will dalam setiap badan publik banyak diwarnai oleh aspek kepemimpinan. Sikap pemimpin yang belum siap atau setengah hati menerangkan informasi terutama menyangkut anggaran.
“Itu yang menjadi hambatan dan memberi andil terhadap kebelumsiapan suatu badan publik untuk melaksanakan UU KIP. Padahal, secara yuridis formal UU itu sudah sah dan efektif berlaku,” ungkapnya.
Badan publik mau tidak mau harus mampu memberikan layanan informasi kepada masyarakat sesuai ketentuan undang-undang yang telah dibuat. Apalagi, di setiap daerah suatu daerah sudah ada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Selain itu, belum banyaknya masyarakat luas untuk menyadari hak-haknya atas informasi publik akan turut memberikan apakah UU KIP ini bisa berjalan lancar.
“Secara teknis memang masih minimnya sosialisasi kepada masyarakat. Itu juga sangat mempengaruhi akan pengetahuan informasi publik,” ucapnya. MOH RIDWAN/RAH