Oleh: Miqdad Husein*
Di tengah hiruk-pikuk perbincangan tentang ISIS, Setara Institut akhir Maret lalu mengungkapkan data survei menarik. Ternyata 7,2 persen – 49 responden dari 684 siswa- di Jakarta dan Bandung setuju ISIS. Ini berarti, kata Wakil Ketua Setara Institut Bonar Tigor Naipospos, satu dari 14 siswa terindikasi setuju tindakan radikalisme.
Sekalipun angka itu belum sepenuhnya merupakan representasi keseluruhan siswa di negeri ini, terungkapnya data itu tetap mememerlukan perhatian serius. Dari fakta itu paling tidak memaparkan tentang potensi radikalisme memang rill ada di tengah masyarakat. Diakui atau tidak ada sebagian kecil masyarakat yang membenarkan berbagai tindakan kekerasan ISIS.
Secara sosiologis fakta-fakta Setara Institut sebenarnya sulit dihindari. Selalu ada kemungkininan dalam komunitas masyarakat yang bersikap di luar kewajaran atau menggunakan cara-cara berbeda dari kebiasan masyarakat umumnya. Bahkan dalam masyarakat modern dan berpikiran maju sekalipun juga ditemukan pikiran dan perilaku berbeda itu. Sekedar contoh ekstrim, simpatisan ISIS juga ada dari Amerika, Inggris, Prancis dan berbagai negara lainnya.
Jika di negara relatif stabil yang komunitas Islamnya minoritas masih saja ada simpatisan ISIS, apalagi di negeri mayoritas muslim seperti di Indonesia. Potensi sejenis sangat dan sangat mungkin sekali. Apalagi ketika faktor-faktor pemicunya bertebaran di tengah masyarakat. Yang perlu dikaji mengapa berbagai penyimpangan itu terjadi lalu bagaimana upaya meminimalkan atau melokasir potensi itu.
Tentu cara-cara pintas dan instan tak bisa lagi dilakukan. Langkah pemblokiran informasi praktis sebenarnya merupakan tindakan yang sulit berjalan efektif. Ditutup di sini, muncul di sana; ditutup di satu tempat muncul di tempat lain. Penyebaran informasi saat ini seperti udara yang sangat sulit dibendung. Konsekwensinya selalu ada potensi ketertarikan, simpati, setuju atau kontra pada berbagai informasi itu. Informasi tentang ISIS misalnya, sebagaimana data yang dilansir Setara Institut ternyata meninggalkan jejak ketertarikan pada sebagian siswa.
Di era globalisasi seperti sekarang ini informasi sa-ngat sulit dibendung. Informasi apapun mudah diperoleh termasuk seputar tentang ISIS. Karena itu yang jauh lebih mendasar adalah bagaimana memberi fondasi pemahaman keagamaan pada masyarakat sehingga ke-terikatan keagamaan tak lagi atas dasar ikut-ikutan.
Pendidikan agama di sekolah sudah saatnya dikembangkan melalui pendekatan dialog, tidak menolog seperti sekarang ini. Siswa dari sejak dini sudah diajak berdiskusi, mengembangkan pemikiran dalam memahami ajaran agama, agar terbiasa terbuka dan bersikap kritis dalam menerima pemikiran.
Jika fondasi kemampuan pengembangan pemikiran keagamaan bersifat terbuka terbentuk tak akan mudah lagi terperangkap doktrin dari sebuah ajaran. Agama dipahami subtansi dan bukan aspek seremonial semata. Penyebaran informasi bersifat doktrin menjadi lebih minimal mempengaruhi pemikiran dan perilaku. Secara tak langsung ada kontrol internal seseorang untuk tidak terjebak berbagai tindakan menyimpang.
Sudah saatnya di negeri ini proses pemahaman keagamaan membuang jauh cara-cara monolog dan lebih mengembangkan dialog, diskusi sebagai proses penataan kemampuan penyaringan informasi. Manusia perlu diperlakukan sebagai makhluk hidup; tidak diposisikan sebagai robot yang gampang dikendalikan siapapun yang merasa mampu menguasainya. [*]
*) Kolumnis asal Madura, tinggal di Jakarta