Oleh: Miqdad Husein*
Kisruh sepak bola Indonesia yang puncaknya berupa pembekuan PSSI oleh pemerintah mengingatkan kelakar seorang kawan ketika menguraikan perbedaan sepak bola Indonesia dengan sepak bola manca negara. Menurut kawan yang dikenal penggila bola itu perbedaan paling mencolok terkait figur terkenalnya. “Di luar negeri itu, para pemain bolanya yang terkenal. Di sini, para pengurusnya yang lebih banyak muncul,” katanya.
Lebih parah lagi, lanjutnya, keterkenalan pengurus karena sering ribut. “Konggres ribut, konferda ribut. Antara pengelola bola dan organisasi ribut. Para pemain dan penonton juga terkenal karena ributnya,” ujarnya, dengan nada kecewa. Ia kecewa karena sebagai penggemar bola sangat berharap sepak bola Indonesia maju seperti negara sepak bola lainnya.
Sulit mengingkari paparan data kawan tadi. Semua keluhan dan sindirannya seperti menjadi menu keseharian. Belum lagi soal dugaan kasus pengaturan skor yang konon sering terjadi pada setiap kompetisi di dalam negeri. Termasuk pemukulan wasit oleh pemain, gaji pemain belum dibayar dan lainnya. Walhasil alih-alih prestasi membanggakan; yang lebih banyak menjadi pemberitaan bernuansa pahit menyesakkan dada.
Ya, masyarakat penggila bola di tanah air, yang sebenarnya sangat luar biasa cinta pada sepak bola Indonesia sangat jarang mendapat hadiah manis. Kegagalan saja rasanya sudah menyesakkan apalagi ketika ditambah berbagai kesemrawutan dan peri-laku kurang terpuji lainnya.
Puncak dari kesemrawutan sepak bola ya itu tadi ketika Kementerian Pemuda dan Olahraga membekukan PSSI. Sebuah tindakan yang sudah tentu berdampak jauh terkait keanggotaan PSSI dalam organisasi sepak bola dunia, FIFA. Sangat mungkin akan ada berbagai akibat terkait pembekuan itu karena sesuai ketentuan FIFA campur tangan pemerintah merupakan tindakan amat sangat diharamkan.
Namun demikian, lepas dari kemungkinan PSSI mendapat sanksi dari FIFA ada kalangan berpikir realistis serta jauh ke depan memberikan persetujuan pada tindakan pemerintah. Alasannya sederhana: agar persepakbolaan Indonesia benar-benar dibenahi dari awal; dimulai dari sejak nol pengelolaannya. Sebab selama ini kisruh dalam kepengurusan PSSI, termasuk penegakan disiplin organisasi serta pemberian sanksi hukum di lapangan praktis belum berjalan optimal.
Jadi menurut pertimbangan yang setuju biarlah ada sanksi pelarangan keikutsertaan PSSI di dunia internasional selama beberapa tahun. Nah selama dalam masa sanksi pemerintah memberi fondasi penataan organisasi sepak bola agar benar-benar memiliki mekanisme baku yang menutup peluang apapun yang potensial merongrong organisasi PSSI. “Kita contoh Irak. Setelah terkena sanksi FIFA sepak bolanya berbenah dan kemudian langsung bangkit jadi juara Asia,” papar selentingan yang setuju pembekuan.
Lepas dari kontroversi pembekuan dan kemungkinan sanksi FIFA dunia sepak bola negeri ini memang dipenuhi ironi luar biasa. Sepak bola yang merupakan olahraga praktis, keterampilan bahkan sekarang sudah mulai memanfaatkan teknologi dalam pertandingan, di negeri ini dipenuhi hal-hal penuh ketakjelasan, ketaktegasan dan ketakpastian. Jadwal tak pasti, sanksi pemain yang melakukan kesalahan berat jauh dari tegas, ketakpastian gaji pemaian dan entah “apalah apalah” lainnya.
Ini belum memasukkan sepak bola menjadi semacam alat kepentingan politik. Walhasil sepak bola sebagai olahraga, yang semuanya di luar negeri bersifat sportif, jelas dan tegas di negeri ini berubah mewujud sesuatu yang meminjam joke Madura menjadi ndak tentu. Mungkin ketularan ungkapan bola itu bundar hingga semuanya memang jadi tak jelas. [*]
*) Kolumnis asal Madura, tinggal di Jakarta.