Oleh: MH . Said Abdullah
Anggota DPR RI, asal Madura.
Pekan ini umat Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia akan melaksanakan kewajiban puasa Ramadan. Seperti biasa berbagai ragam budaya mewarnai penyambutan Ramadan. Di Kabupaten Sumenep masih ada tradisi “nampa” yang dilakukan sehari sebelum masuk puasa. Biasanya diwarnai aktivitas masyarakat dalam bentuk saling menjual kue apem di pasar-pasar.
Sangat mungkin di berbagai daerah lain, termasuk di penjuru dunia akan ditemui aktivitas berwarna budaya lokal dalam menyambut bulan puasa. Semuanya dalam nuansa kegembiraan dan kebahagiaan karena diyakini bulan ramadhan merupakan bulan yang didalamnya Allah memberikan berbagai keistimewaan.
Inilah keistimewaan agama Islam. Sangat kontekstual serta mudah sekali berbaur dengan budaya lokal tanpa kehilangan subtansi ajaran agama Islam. Termasuk di negeri ini yang memiliki beraneka ragama budaya, ajaran Islam terasa begitu menyatu seakan budaya lokal menjadi bagian dari peribadatan agama Islam.
Bagi sementara kalangan yang berpikir ingin memurnikan ajaran agama Islam kadang muncul semacam kegelisahan dan kekhawatiran berlebihan. Mereka merasa berbagai pernik-pernik budaya dianggap dapat merusak kemurnian ajaran Islam. Karena itu kadang bersemangat mereka kemudian menyampaikan pemikiran menganggap berbagai aktivitas keagamaan yang diwarnai budaya itu sebagai bid’ah atau mengada-ada.
Pemikiran seperti itu tetap perlu dihormati. Namun masyarakat lain yang memberikan warna-warni budaya dalam berbagai kegiatan keagamaan tak perlu dibatasi. Bagaimanapun sangat sulit menghindari pengaruh budaya dalam proses pelaksanaan kesadaran keagamaan. Cara dan perilaku hidup yang sudah membudaya tentu tak mudah berubah. Yang terpenting subtansi tujuan ajaran agama itu tercapai.
Di tengah masyarakat sering berkembang asumsi pemikiran yang terlalu hitam putih. Keseluruhan persoalan disederhanakan hanya atas dasar satu pola pemahaman. Sekedar contoh tentang aktivitas perayaan maulid Nabi Muhammad yang langsung dianggap sebagai bid’ah.
Vonis terhadap kegiatan maulid mungkin benar jika dilihat dari ajaran agama Islam. Tetapi jangan lupa kegiatan maulid sebenarnya merupakan ekspresi budaya. Merupakan wujud kesadaran kemanusiaan rasa cinta kepada Nabi Muhammad. Masyarakat yang memperingati maulid juga mengetahui bahwa Nabi Muhammad tidak pernah memerintahkan itu. Sepenuhnya kegiatan atas dasar inisiatif sebagai ekspresi budaya, percikan kemanusiaan, rasa cinta. Bahwa kemudian perlu ada pemikiran cerdas agar berbagai aktivitas budaya harus memberikan manfaat sudah pasti merupakan keniscayaan.
Semangat dan pemikiran seperti inilah yang juga perlu dikembangkan ketika menyambut kedatangan bulan suci ramadhan. Berbagai asesoris budaya yang mewarnai jangan sampai merusak subtansi tujuan puasa. Juga, agar ada manfaat dan tidak terjebak kemubaziran pada seluruh aktivitas sosial budaya di bulan suci Ramadan.
Jangan sampai yang lebih mengemuka asesoris dan pernik-pernik budaya ketimbang substansi tujuan puasa. Misalnya mampu menahan diri berpuasa, menahan lapar dan haus dari pagi hingga petang tapi gagal mengendalikan naluri konsumerisme dan hedonisme dalam bentuk berfoya-foya menikmati makanan, berbelanja berbelihan yang paradok atau bertolak belakang dengan nilai pe-ngendalian diri pada ajaran ibadah puasa. [*]