Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis asal Madura, tinggal di Jakarta
Turki sedang “menjajah” telivisi Indonesia. Begitu teriak seorang kawan menggambarkan ramainya film atau sinetron produksi dari Turki. Korea tergusur, kata teman lainnya. “Produksi film dan sinetron nasional, cukup hanya masuk rating pas-pasan. Tak perlu sampai menggegerkan seperti produk Korea dan Turki,” ungkap sinis, seorang wartawan yang terlihat gemas menyaksikan produk-produk dalam negeri tergusur.
Elif, Zahra, Cinta di Musim Cherry dan entah apalagi,belakangan memang akrab dengan masyarakat Indonesia. Semuanya produksi dari Turki. Belum lama salah satu stasiun telivisi mempertimbangkan dan tentu saja memperhitungkan kepentingan pasar penggemar Indonesia yang luar biasa sempat memboyong pemain-pemain utama Elif.
Inilah fakta dan data riil jagad hiburan yang tergolong ecek-ecek di negeri ini. Untuk urusan selera hiburan yang paling sederhana saja kalah dari Turki dan Korea. Dua negara yang sebenarnya praktis tak pernah memiliki catatan luar biasa dalam soal urusan kualitas film maupun sinetron di jagad dunia. Jauh ketinggalan dibanding Jepang, Iran apalagi India.
India? Jangan dulu berpikir negatif. India yang sering dipopulerkan dengan sebutan Bollywood untuk disamakan dengan Hollywood tergolong negara yang luar biasa. Kemampuan produksinya luar biasa. Kualitas? Juga sudah menerobos pentas dunia. Tapi jangan kecele dengan film-film India yang masuk ke Indonesia, yang rata-rata sebatas film hiburan. Film-film berkualitas dari India praktis tak pernah mampir ke negeri ini.
Produksi negeri Sakura dan negeri para Mullah tak kalah dasyat. Jepang yang sangat ketat soal budaya melahirkan sutradara kelas dunia Akira Kurusawa. Film-film Iran menerobos festival Oscar dan Cannes hingga jadi pembicaraan dunia.
Jika film-film bermutu dengan kualitas seni tinggi yang mewarnai jagad hiburan negeri ini, mungkin akan banyak manfaat pembelajaran. Namun jika film-film sekelas produksi Turki, Korea, termasuk film kacangan India –bukan yang bermutu- praktis masyarakat akan termanjakan atau bisa jadi tercekoki yang justru makin menurunkan kualitas intelektual masyarakat Indonesia.
Mungkin perlu juga ditanyakan, mengapa film-film yang sebenarnya berkualitas standar dari Turki dan Korea bisa digemari di negeri ini? Jawaban ibu-ibu rumah tangga, yang biasanya menjadi penggemar terbesar layak disimak. Sesuai pemahaman sederhananya, pemikiran merekapun sangat sederhana. “Yang muda, kelihatan memang muda. Yang jadi bapak, ibu atau kakek nenek tua. Ngak kayak sinetron Indonesia. Dipaksa-paksakan,” tutur ibu-ibu yang dibenarkan rombongan ibu-ibu lainnya.
Ketepatan dan kesesuaian pemeran, itu mungkin maksudnya. Sesuatu yang bahkan dilihat para ibu-ibu dari soal sederhana. Bukan kualitas peran tapi kesesuain umur. Terasa sekali sangat elementer. Artinya, produk-produk negeri ini untuk yang urusan elementer saja kedodoran.
Apakah kemampuan para sineas Indonesia rendah? Jangan salah. Banyak pelaku seni negeri ini yang memiliki kemampuan berkualitas dengan hasil dasyat. Film Laskar Pelangi yang diadopsi dari Novel judul sama tergolong film berkualitas tinggi. Film Cut Nyak Dien, termasuk banyak karya Hanung tak bisa disepelekan. Untuk sinetron ada Para Pencari Tuhan, sebelumnya Bajay Badjuri, bisa masuk katagori sinetron komedi bukan recehan.
Sangat jelas, ini bukan urusan kemampuan tapi menyangkut keseriusan. Termasuk dukungan dari pemerintah yang seharusnya riil jika produksi seni negeri ini berharap berkualitas hingga sampai ke manca negara dan menjadi kegemaran rakyat Indonesia sendiri.
Lagi-lagi soal keseriusan dan etos. Kemampuan dan kecendasan ada tanpa keseriusan sudah pasti hasilnya “tak serius.” Sayang memang.
