Ledakan beragam kasus yang terjadi belakangan ini yang episentrumnya justru berada di institusi-institusi penegakan hukum mestinya menyadarkan kita bahwa reformasi hukum di negeri masih jauh panggang dari api.
Agenda-agenda pembaruan dalam institusi-institusi penegak hukum tidak membawa perubahan yang memberikan harapan bagi kesejatian penegakan hukum dan keadilan. Citra institusi-institusi penegak hukum terpuruk. Kepercayaan dan konfidens masyarakat terhadap institusi-institusi penegak hukum terkikis. Apa yang salah?
Hermann Mannheim pernah ungkapkan, “It is not the formula that decide the issue, but the men who have to apply the formula”. Di semua institusi hukum telah ditetapkan agenda-agenda pembaruan sebagai formula untuk melakukan perubahan sesuai cita-cita reformasi.
Mahkamah Agung telah menetapkan pula agenda pembaruannya yang tercantum dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung dan Kertas Kerja Pembaruan Peradilan tahun 2003. Kejaksaan RI telah menetapkan Agenda Pembaruan Kejaksaan yang diluncurkan pada Hari Adhyaksa ke 45, pada tanggal 22 Juli 2005. Agenda ini terdiri dari 12 program pembaruan.
Demikian juga Kepolisian RI telah menetapkan Reformasi Polri yang dimulai momentum dipisahkannya Polri secara institusi dari TNI (ABRI) pada bulan April 1999. Momentum itu diawali oleh Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan POLRI dan ABRI. Kebijakan tersebut diikuti dengan terbitnya Tap MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dan TNI, dan Tap MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran Polri dan TNI. Kebijakan dimaknai sebagai kemandirian Polri dengan melakukan perubahan pada tiga aspek, yakni aspek struktural, aspek instrumental, dan aspek kultural.
Agenda-agenda pembaruan di masing-masing institusi penegak hukum ini merupakan formula yang secara konseptual sudah jelas. Tetapi, seperti dikatakan penulis buku Criminal Justice and Social Reconstruction(1946), Hermman Mannheim, persoalannya bukan hanya pada kejelasan dan kecanggihan formula, tetapi terutama pada manusia-manusia yang mengaplikasikan formula itu. Inilah yang jadi soal. Inilah yang menyebabkan terjadinya ledakan kasus-kasus yang berepisentrum pada institusi-institusi penegakan hukum yang belakang ini bikin miris hati masyarakat.
Agenda pembaruan di setiap institusi penegakan hukum tidak disertai dan diikuti oleh perubahan mindset manusia-manusia yang mengaktualisasikan setiap program dari agenda pembaruan itu. Padahal perubahan mindset itu merupakan faktor krusial yang memiliki makna penting dan strategis dalam efektivitas pelaksanaan agenda pembaruan di setiap institusi itu.
Suatu mindset, dalam teori keputusan (decision theory) dan teori sistem umumnya, merujuk kepada serangkaian asumsi, anggapan, persepsi, dan metode yang dipegang teguh seseorang atau sekelompok orang sebegitu kuatnya sehingga menciptakan dorongan sangat besar dalam diri seseorang atau sekelompok orang untuk memiliki sikap, pola laku, membuat pilihan-pilihan atau sarana-sarana yang sudah dan biasa dijalankan. Mindset itu merupakan suatu “mental inertia”, “groupthinking”, atau suatu paradigma.
Jika mindset seorang penegak hukum terbangun dari rangkaian asumsi, anggapan, dan persepsi dalam dirinya bahwa jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya itu sebagai peluang untuk memperkaya dirinya, maka penegak hukum tersebut akan memperlakukan setiap kasus yang ditangani sebagai kesempatan meraup untung – menjadikan hukum dan keadilan sebagai komoditi dagangan.
Maka, kitapun lazim mendengar istilah “posisi yang basah” karena dalam jabatan tersebut banyak kasus besar yang ditangani. Kitapun lazim mendengar kisah penegak hukum yang kecewa karena tidak lagi menangani perkara. Kekecewaan itu bukan karena menangani perkara dipahami sebagai panggilan hidup (a calling) untuk menegakan hukum dan keadilan, tetapi terutama karena hilangnya peluang untuk melakukan korupsi yudisial atau menjadi penjarah yang legal (legal plunder).
Agenda-agenda pembaruan institusi penegakan hukum ini tidak akan menyebabkan perubahan ketika tidak ada perubahan mindset di setiap individu penegak hukum.
Revolusi perubahan mindset berarti mengadakan perubahan asumsi, anggapan, persepsi dan metode lama yang selalu ini jadi pedoman sikap dan pola laku secara revolusioner. Carol S. Dweck dalam bukunya berjudul “The New Psychology of Success” (2006) mengungkapkan bahwa terdapat dua mindset fundamental, yakni mindset yang tetap (fixed mindset) dan mindset yang bertumbuh (growth mindset). Seorang penegak hukum yang memiliki fixed mindset adalah orang yang tidak mau berubah. Sedangkan yang growth mindset adalah penegak hukum yang mau berubah dan menggunakan kecerdasan, bakat dan kemampuannya untuk membangun dan mengembangkan dirinya.
Revolusi perubahan mindset itu berarti melakukan perubahan secara revolusioner dari para para penegak hukum yang memiliki fixed mindset agar dapat menjadi penegak hukum yang growth mindset sehingga dia dapat mengalami perubahan senafas dan seirama dengan agenda pembaruan di setiap institusi penegakan hukum menuju cita-cita reformasi.
Ini tentu tidak mudah. Merupakan tantangan yang berat sebagaimana diakui oleh Muhammad Yunus, penerima hadiah Nobel Perdamaian di tahun 2006 itu, “my greatest challenge has been to change the mindset of people. Mindsets play strange tricks on us. We see things the way our minds have instructed our eyes to see.” Mengubah mindset dari setiap penegak hukum itu merupakan tantangan paling besar di setiap pimpinan institusi penegak hukum di negeri ini. Tetapi di situlah sejatinya letak ukuran keberhasilan seorang pemimpin.
Dan seperti dikatakan perancang busana dunia yang terkenal itu, Giorgio Armani, untuk menciptakan suatu yang “exceptional”, mindset kita harus benar-benar dipusatkan pada detail yang paling kecil. Sebab, siapa setia dalam perkara kecil, maka diapun akan setia pada perkara besar.
Maka ledakan kasus-kasus yang heboh terjadi belakangan ini yang berepisentrum pada institusi-institusi penegakan hukum dan menyeret para penegak hukum, mestinya menjadi “moment of truth” untuk melakukan pembaruan sejati di setiap institusi penegakan hukum yang harus dimulai dari revolusi perubahan mindset setiap penegak hukum, mulai dari pemusatan perhatian pada hal-hal detail yang paling kecil. [*]
Oleh: Gabriel Mahal
Praktisi Hukum dan Pecinta Kebudayaan, Tinggal di Jakarta