Pendidikan, adalah media untuk memanusiakan manusia. Begitulah kita memahami tentang pendidikan. Melalui pendidikan seyogyanya sifat-sifat hayawan yang ada dalam diri manusia hilang dan berganti karakter kemanusiaan. Sehingga manusia bisa menjalankan fungsinya sebagai manusia.
Tanpa pendidikan, maka entitas kemanusiaan tidak akan terwujud dalam diri manusia. Entitas dimaksud kesadaran sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk yang hidup di bumi.
Secara simplistis, bahwa pendidikan bermakna sebuah proses bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada terdidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju kepribadian yang lebih baik, yang pada hakikatnya mengarah pada pembentukan manusia yang ideal. Dalam konteks inilah maka pendidikan berfungsi sebagai suatu instrumen dalam membentuk manusia insan kamil. Sehingga melalui pendidikan, seseorang akan menemukan jati dirinya sebagai hamba Tuhan yang maha Esa dan sebagai makhluk yang memiliki keterikatan dengan manusia yang lain.
Atas dasar itulah, bahwa hakikat pendidikan berkait dengan dimensi moralitas yang harus terserap oleh setiap anak didik. Jika nilai-nilai moralitas ini tidak terserap dengan baik, maka sudah dipastikan dimensi kemanusiaan yang ada dalam diri setiap manusia tidak akan muncul menjadi prilaku. Sebab, out put dari pendidikan akan mencerminkan kondisi kepribadian setiap manusia dan masyarakat. Jika hasil pendidikan tidak mencerminkan kondisi pribadi yang baik, dimungkinkan ada keliru dalam pendidikan kita.
Kasus yang menimpa Nur Ain Lubis, dosen Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), yang dibunuh oleh mahasiswanya, menunjukkan kekeliruan dalam pendidikan kita. Bagaimana mungkin seorang pelajar berani atau bahkan tega membunuh seorang yang telah membimbingnya? Terlepas kemungkinan ada motif tertentu dibalik pembunuhan tersebut yang pasti fenomena itu telah mencoreng dunia pendidikan.
Fenomena pembunuhan terhadap dosen oleh Mahasiswa tersebut adalah segelintir dari sederet fenomena problematika dunia pendidikan dewasa ini. Jika kita perhatikan kondsi pelajar saat ini sangatlah memprihatinkan. Sebagai sorang pelajar, mereka sama sekali tidak mencerminkan seorang terdidik. Prilaku yang jauh dari nilai-nilai moralitas menjadi hobbinya, seperti pesta miras, tawuran, mesum, urakan, konvoi ketika pelulusan dan lain sebagainya.
Sebuah pertanyaan muncul, kenapa fenomena semacam itu terjadi? Ada apa dengan dunia pendidikan kita? Kenapa tidak mampu mendidik anak menjadi terdidik? Sudah dipastikan bahwa dunia pendidikan telah kehilangan dimensi moralitas. Para guru tidak lagi bertindak sebagai pendidik yang bisa mentransfer nilai melalui keteladanan. Guru yang seharusnya menjadi inspirasi dan panutan justru terjerembab pada pragmatisme. Keikhlasan dan ketelatenan dalam mendidik tidak lagi dimiliki oleh seorang guru. Karena yang dikejar hanya keuntungan materi.
Kemudian, aspek lain yang menjadi faktor adalah perkembangan teknologi. Dalam merespon perkembangan teknologi para pengelola pendidikan berlomba bagaimana mengembangkan sistem pendidikan berbasis teknologi namun pada saat bersamaan lupa terhadap esensi pendidikan yakni penanaman nilai moralitas. Akibtanya, dimensi moralitas dalam pendidikan dewasa ini kurang mendapat perhatian para pendidik. Terlebih para pendidik beberapa tahun terakhir ini hanya disibukkan pada sistem kurikulum yang belum menemukan jati dirinya.
Mendidik: “Transfer of Value”
Prilaku anak didik atau pelajar juga tidak bisa dilepaskan dari prilaku gurunya. Dalam pepatah disebutkan, “Guru Kencing berdiri, murid kencing berlari”. Pepatah ini menunjukkan betapa pentingnya peran seorang guru terhadap perkembangan anak. Sehingga sudah dipastikan prilaku para pendidik juga bisa menjadi pemicu bobroknya moralitas anak didik dewasa ini. Oleh karena itulah, disini peran seorang pendidik sangat vital. Tidak hanya sekedar mencerdaskan secara intelektual tapi juga secara spritual melalui transfer nilai (transfer of value).
Mendidik, tidak hanya soal bagaimana membuat anak didik mengerti terhadap pelajaran yang disuguhkan. Bukan pula bagaimana mencerdaskan secara intlegensia. Tapi esensi dari mendidik adalah proses tranformasi nilai melalui keteladanan seorang pendidik. Sebab, mendidik berarti menanamkan kesadaran esensinya kemanusiaan terhadap anak didik. Melalui kesadaran kemanusiaan ini, mereka akan mengerti hakikat dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan kodratnya sebagai makhluk sosial.
Menurut Tugiyarso, dalam bukunya yang berjudul “Mendidik dengan Kasih”, bahwa keputusan seorang anak untuk berkehendak baik atau jahat hampir seluruhnya tergantung pada motivasi yang telah dibangun di dalam dirinya sebelumnya. Apabila ia telah termotivasi dengan baik, dia akan menerima logika dari ajaran-ajaran yang diwariskannya dan bertahan terhadap godaan.
Dalam konteks itulah, seorang pendidik harus mampu bertindak sebagai leader yang bisa mentranformasi dan memotivasi melalui keteladanan. Dalam kaitan sebagai leader, disini harus menjadi pengayom dan pelindung, sehingga anak didik merasa dikasihi dan disayangi. Dalam situasi yang demikian ini maka akan tumbuh kesadaran dari anak didik untuk berbuat dan bertindak dengan baik. Jadi, posisi guru di sekolah hendaknya tidak hanya berfungsi sebagai pengajar tapi juga pengayom dan pendidik. Pendekatan persuasif yang bersifat motivasi merupakan cara yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai moralitas pada anak. Karena esensi dari pendidikan adalah transfer nilai (transfer of value).
Meminjam istilah Sardiman, bahwa “dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku, dan kepribadian anak didik, guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam mendekatkannya. Untuk itu, dibutuhkan kecakapan seorang guru dalam mengarahkan motivasi dan berpikir dengan tidak lupa menggunakan pribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau model. Oleh karena itu guru tidak sekadar “pengajar,” tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-nilai itu kepada anak didiknya. Dengan dilandasi nilai-nilai itu, anak didik akan tumbuh kesadaranya dan kemauannya, untuk mempraktek segala sesuatu yang sudah di pelajarinya. Wallahu A’lam. [*]
Oleh: Mushafi Miftah
Pemerhati Kebijakan Publik di BEDUG Institute Jawa Timur dan Dosen IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo