Dalam hitungan hari, Ramadan akan tiba kembali. Tinggal menghitung hari, ummat islam akan memulai ibadah puasa pada 6 Juni 2016. Dengan begitu, waktu yang tersisa untuk menemui bulan Ramadan tinggal sedikit. Yang menarik, setiap menjelang bulan Ramadan harga-harga pangan melonjak tinggi. Tak terkecuali menjelang Ramadan tahun ini, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sudah terlihat di berbagai daerah. Namun ironinya, kondisi seperti ini seolah tradisi yang “dibenarkan” oleh mekanisme pasar. Dan pemerintah pun seolah “mati kutu” terhadap kondisi demikian.
Tradisi melejitnya harga pangan di bulan Ramadan berawal dari alasan bahwa adanya peningkatan permintaan pada saat Ramadan hingga 25% sehingga membuat para pemasok dan pedagang turut menaikan harga. Sebagaimana dengan teori hukum pasar, bahwa ketika ada peningkatan dari sisi permintaan dengan pasokan memadai maka harga pun akan melejit tinggi. Disinilah tradisi tersebut bermula, sehingga seolah menjadi sebuah “kelaziman” yang dibenarkan, tetntu dampak dari itu adalah terjadinya inflasi yang tinggi di setiap Ramadan dan idul fitri tidak bisa kita hindarkan.
Bagaimana seharusnya kita tidak terjebak dengan tradisi ini, tapi bagaimana harga justru bisa turun pada saat Ramadan dan Idul Fitri tiba. Hal ini rupanya sudah disadari Presiden Jokowi, pada 24 April lalu, preiden Jokowi manyatakan bahwa harga pangan di bulan Ramadan harus turun. Seperti yang kita ketahui, hampir di setiap daerah harga pangan membumbung tinggi. Hampir di semuah jenis komoditas pangan: seperti beras, gula, minyak goring, bawang merah, daging ayam dan sapi, telur ayam, sayuran, dan bahkan buah-buahan mengalami lonjakan yang cukup tinggi. Yang kita ketahui, langkah dan upaya pemerintah untuk menstabilkan harga pada setiap bulan Ramadan tidak mengalami perubahan secara siginifikan. Hampir tiap tahun, kondisinya sama – harga tetap tinggi – meskipun segala upaya ditempuh.
Lalu apakan presiden Jokowi bisa mewujudkan pernyataanya untuk menurunkan harga pangan. Kita sejatinya selalu berharap, pemerintah dengan power yang dimilikinya mampu menstabilkan inflasi ramaadhan tahun ini. Meskipun pengalaman tahun sebelumnya menunjukan kenyataan yang jauh dari harapan. Tahun ini merupakan tahun kedua presiden Jokowi memimpin negeri ini. Kondisi ramadahn tahun lalu justru pemerintah terlihat “sempoyongan” dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok. Instabilitas harga pangan dan inflasi hingga kini tetap menjadi tradisi yang tidak bisa dikendalikan di setiap bulan Ramadan dan idul fitri. Inflasi Ramadan selalu tinggi, dalam beberapa tahun terakhir inflasi bahkan tidak pernah menyentuh dibawah level 0,7 %.
Kenaikan harga pangan selama Ramadan terlihat pada rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) yang tercermin dalam data inflasi Pada tahun 2005 inflasi Ramadan menyentuh level tinggi 8,7%. Sedangkan inflasi Ramadan tahun 2008 mencapai hingga angka 0,97%. Sedangkan jika ditarik beberapa tahun kebelakang: yakni tahun 2011 inflasi 0,93%, tahun 2012 0,7 %, tahun 2013 inflasi mencapai 3,29% dan terakhir tahun 2014-2015 inflasi Ramadan meneyentuh angka 0,93%. Ini cukup menunjukan bahwa dari tahun-tahun sebelumnya hingga beberapa tahun sekarang kenaikan harga pangan di bulan Ramadan tidak mengalami perubahan yang siginifikan: tetap terjadi kenaikan.
Salah satu jalan agar bagaimana harga kebutuhan pokok tidak bergerak liar pada saat momen hari besar keagamaan (Ramadan dan Idul Fitri) adalah bagaimana harus ada penetapan acuan harga oleh otoritas pemerintah. Dengan ada pengaturan tersebut, instabilitas harga diharapkan dapat dikendalikan. Namun selama ini mengapa di setiap Ramadan kebutuhan pokok selalu bergerak liar menuruti “selera” salah satu kekuatan titik rantai distribusi. Karena memang tidak tampak upaya tegas pemerintah untuk menetukan harga acuan: harga acuan ini mungkin bisa diberlakukan pada saat momen hari raya keagamaan. Sehingga harga stabil mengikuti harga acuan. Bagaimana mungkin stabilitas harga terwujud jika tanpa harga acuan?
***
Jadi, solusi menstabilkan harga sudah tidak bisa lagi dengan cara lama dan reaksional. Seperti melakukan operasi pasar dan cara konvensional lainnya. Operasi pasar memang diperlukan untuk memberantas kemungkinan adanya kartel, akan tetapi upaya itu tidaklah cukup secara siginifikan. Diperlukan kebijakan yang bersifat massif, tegas dan komprehensif. Selain itu, sesungguhnya tidak ada salahnya jika sudah waktunya pemerintah membentuk lembaga baru yang sibuk bertugas di sektor pangan pokok tertentu: lembaga ini mengatur jalannya pangan mulai dari pasokan, rantai distribusi hingga pasar.
Kita menunggu trobosan baru dari pemerintah. Sebab cara reaksional dan konvensional selama ini yang ditempuh tidaklah cukup mengeluarkan masyarakat dari jebakan tradisi kenaikan harga pangan di setiap bulan Ramadan. Jika tanpa solusi komprehensif maka tradisi ini akan terus berlanjut, hingga membuat “mabuk” daya beli masyarakat pada setiap hari besar keagamaan.
Kita mengapresiasi langkah presiden Jokowi yang membentuk Tim Ketersediaan dan Stabilitas Harga di kementerian perdagangan. Tim ini wujud dari realisasi mandat Perpres 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Tim ini hanya bertugas memberikan masukan kepada mendag dalam menentukan harga, pengelolaan stok dan logistic serta ekspor/impor. Tentu untuk menyelesaikan persoalan tingginya harga pangan dan inflasi di bulan Ramadan dengan mengandalkan tim saja tidaklah cukup. [*]
Oleh: Wahyudi
Pengurus Yayasan Wakaf Manba’ul ‘Ulum Cirebon. Pemerhati kesejahteraan ekonomi dan sosial