Pendidikan adalah hak dasar setiap orang. Baik buruknya kualitas pendidikan seseorang akan menentukan suskses tidaknya di masa depan. Target utama pendidikan adalah anak-anak karena kepada merekalah nantinya diberikan estafet sebuah peradaban. Oleh karena itu, pendidikan anak harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah, sekolah dan terutama orangtua.
Keluarga merupakan rumah utama anak dimana ia bisa mengekplor segala kemampuannya tanpa ada yang membatasi. Pendidikan yang hakiki dapat diperoleh anak di dalam keluarga. Namun, seiring kemajuan jaman, mayoritas keluarga tak lagi memegang prinsip itu. Banyak orangtua lepas kontrol hingga anak tak terdidik di dalam rumah.
Menurut Zakiyah Drajat (1996:35), orangtua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari mereka lah anak mula-mula menerima pendidikan. Mayoritas pemerhati anak juga mengungkapkan hal serupa bahwa tidak ada wadah pendidikan abadi bagi anak selain rumah dan dididik oleh orangtua.
Tanggung jawab orangtua bukan main-main. Anak dan pendidikan adalah satu kesatuan yang sesungguhnya tak boleh dipisahkan, karena jika dipisahkan, seumur hidup anak, dia tak akan mengetahui orientasi hidupnya. Ujungnya, ia akan menjalani hidup tanpa arah yang pasti. Dampak negatifnya, ia akan digilas jaman, menjadi beban di masyarakat dan “sampah” di tiap komunitas mana pun ia berada.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa eksistensi orangtua dalam proses tumbuh kembang dan pendidikan anak sudah sangat urgen. Dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa orangtua dari usia anak wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Banyak orang salah tafsir terhadap pasal ini dengan paham bahwa tugas orangtua hanya menyekolahkan anak di sekolah-sekolah formal. Padahal kata “memberikan pendidikan dasar” memiliki arti bahwa orangtua wajib mentransfer pendidikan yang dimilikinya kepada si anak. Jadi, hal-hal edukatif di dalam diri orangtua yang sifatnya mendasar mesti disalurkan kepada anak.
Dengan ini, jelas dipahami bahwa tanggung jawab atas pendidikan anak tidak lebih besar dibebankan pada guru, melainkan orangtua. Selain itu, orangtua mesti memahami bahwa pendidikan dasar tak berarti sama halnya dengan pelajaran-pelajaran formal seperti matematika, IPA, IPS, bahasa dan lain-lain. Dalam konteks pendidikan keluarga, pendidikan dasar lebih tepat diartikan sebagai pendidikan karakter, agama, seksual, dan psikologis dan budi pekerti.
Belakangan ini, marak terjadi pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak. Di satu sisi, kasus tersebut terjadi akibat semakin banyaknya predator anak. Namun di sisi lain, kita harus mengakui bahwa kekerasan yang mereka alami berkaitan dengan lemahnya pendidikan dasar agama, karakter, seksual, psikologis, dan budi pekerti yang mereka miliki. Mereka tak dibekali dengan pendidikan dasar di keluarga agar mampu menjaga diri.
Oleh karena itu, eksistensi orangtua diperlukan guna membekali anak dengan pendidikan dasar (agama, karakter, seksual, psikologis, dan budi pekerti). Kelimanya harus ditanamkan sejak usia dini. Namun, kendala terbesarnya adalah semakin banyak orangtua jaman sekarang krisis nilai relijiusitas, moral, dan seksual. Untuk itu, sebagai langkah awal, orangtua perlu mengevaluasi diri dan mau belajar untuk menjadi orangtua yang baik untuk anak.
Secara struktural di keluarga, fungsi orangtua tidak boleh disamakan. Ayah dan Ibu sesungguhnya punya peran berbeda namun tetap satu-kesatuan dalam menyempurnakan anak mereka. Ngalim Purwanto (2000:82) dalam bukunya berudul Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, memilah antara fungsi ayah dan ibu di dalam keluarga.
Menurutnya, fungsi ibu adalah (1) sumber dan pemberi rasa kasih sayang, (2) pengasuh dan pemelihara, (3) tempat mencurahkan isi hati, (4) pengatur kehidupan dalam rumah tangga, (5) pembimbing hubungan pribadi, dan (6) pendidikan dalam segi-segi emosional. Bila disimpulkan, fungsi Ibu lebih menyentuh ruang internal keluarga, tepatnya mengurusi manajemen keluarga. Artinya, Ibu punya andil besar dalam pendidikan anak di keluarga. Kualitas Ibu akan menentukan kualitas anak-anaknya.
Untuk itu, Ibu diharapkan terus meng-upgrade kompetensinya sebagai Ibu baik dalam nilai-nilai moralitas, relijiusitas, dan ilmu pengetahuannya. Jika bekal itu dimiliki Ibu, maka akan banyak kebutuhan dasar anak yang terpenuhi. Anak tak lagi terus mengeluh dengan pelajaran/tugas di sekolah, tak lagi menjadi bahan bullyan karena ketertinggalan pendidikan, tak lagi disepelekan orang lain karena tak punya moralitas, tak mau melakukan kejahatan, dan tak lagi mudah dirayu predator untuk dilecehkan.
Fungsi ayah juga sangat besark. Ayah berperan sebagai (1) sumber kekuasaan dalam keluarga, (2) penghubung intern keluarga dengan masyarakat, (3) pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga, (4) pelindung terhadap ancaman dari luar, (5) hakim yang mengadili jika terjadi kesalahan, (6) pendidikan dalam segi-segi rasional. Peran di atas sangat menampar para ayah jaman sekarang. Pasalnya, perilaku ayah saat ini semakin jauh dari nilai-nilai itu.
Banyak ayah yang mestinya memberi perlindungan kepada anak-anaknya justru menjadi predator bagi mereka. Buktinya, banyak ayah dengan biadabnya memperkosa anak kandungnya sendiri. Ayah yang semestinya mengadili setiap pelanggaran di dalam keluarga justru diadili di ruang hukum akibat kasus pesta narkoba, seks dan minuman keras. Ayah yang semestinya menurunkan genitas kecerdasan pada anak justru tak pernah memfasilitasi anaknya dengan pendukung pendidikan yang baik, dan malah lebih suka menghamburkan uang untuk rokok dan minuman keras.
Jadi, buruknya kondisi anak sekarang ini dinilai sangat wajar karena mereka krisis pendidikan di keluarga justru sering mengalami intimidasi, eksploitasi dan penderitaan fisik serta batin. Inilah momen yang tepat bagi para orangtua untuk mawas diri, mau memperbaiki dan membekali diri dengan hal-hal positif.
Semoga, dengan kembali menyadari apa fungsi eksistensi orangtua dalam kehidupan anak-anaknya akan menjadikan keluarga menjadi surganya anak. Anak akan menjadi kebal terhadap hal-hal negatif karena sudah dibekali pendidikan dasar yang notabene haknya. Yakinlah, jika itu tercipta, maka eksistensi predator anak akan sirnah dengan sendirinya, karena setiap anak sudah dibekali dengan nilai moralitas, religiusitas, karakter, budi pekerti dan pendidikan yang mumpuni. [*]
Oleh: Hasian Sidabutar
Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta. Kandidat gelar Master Ilmu Hubungan Internasional UGM