Tepat tanggal 20 Mei, Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang ke-108 tahun. Sudah lebih dari satu abad kita memperingatinya. Di usia yang sudah lebih dari satu abad, bisakah kita memaknai kata kebangkitan itu?
Mengheningkan Cipta
Bangkitnya Indonesia nampaknya sangat berat. Kita kenyang disuguhi pemberitaan di media akhir-akhir ini tentang kekerasan seksual. Diawali berita kekejian di Bengkulu. Satu siswi digilir 14 pemuda. Bukan hanya diperkosa, Yuyun, gadis belia itu dibuat hilang nyawanya.
Cerita berlanjut ke daerah Lampung. Anak SD yang akan berangkat mengaji tak luput dari keganasan nafsu birahi beberapa pemuda. Anak perempuan bernama Mistianah harus meregang nyawa setelah diperkosa.
Menyebrang ke dekat ibukota. Bogor. Di pinggir kota hujan ini, Laela, seorang balita 2,5 tahun dibuat tak berdaya. Pemuda 26 tahun memerkosanya, kemudian membunuh anak perempuan berwajah cantik itu. Menaruhnya di dalam lemari. Menyimpannya di belakang rumah. Ikut tahlilan atas kematiannya. Tersangka baru menyerah saat anjing dipersilakan menunjukkan siapa sebenarnya dirinya.
Cerita tak berhenti disitu. Di Kediri, ada pengusaha yang menyetubuhi 58 anak. Dia melakukan dengan begitu mudahnya. Diimingi uang, para korban dibuat diam termasuk para orang tuanya. Dia leluasa mencekoki korban dengan pil antihamil dan film porno, memerlakukan para korban seperti meremas tahu.
Kejadian di atas hanya sample saja. Masih banyak kejadian di daerah lainnya. Di Tangerang, Yogyakarta, dan banyak lagi. Dan tentu memerlukan perhatian yang sama.
Kiranya para korban bisa menghadap Tuhan dengan sumringah. Wajahnya merona dengan penuh rahmat dan kasih sayang-Nya. Mereka start duluan bertemu Tuhan dengan penuh cahaya dan kemuliaan.
Merevisi Hukuman
Kasus-kasus di atas menyedot perhatian kita. Dari masyarakat hingga Presiden menyempatkan diri untuk mengucapkan bela sungkawa dan bicara tentang hukuman bagi tersangka. Di Indonesia saat ini, masih berlaku hukuman penjara 15 tahun bagi kekerasan seksual terhadap anak. Hal itu terdapat dalam Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan di negara lain, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, seperti pencabulan, pemerkosaan, telah dijatuhi hukum kebiri.
Hukuman baru yang akan dijatuhkan kepada para pelaku kekerasan seksual kepada anak masih menimbulkan pro dan kontra. Hal ini juga tengah menjadi bahasan yang hangat di pemerintah selaku lembaga eksekutif dan di DPR selaku lembaga legislatif. Sejauh ini pemerintah telah melakukan ancang-ancang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang akan segera dikirim ke DPR.
Indonesia memang sedang darurat kekerasan seksual terutama kepada anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah memberikan warning dengan mencanangkan Indonesia darurat kekerasan seksual sejak awal 2015 lalu. KPAI menyebutkan ada 58 persen kejahatan kekerasan seksual pada anak yang diikuti pembunuhan. Dari data tersebut, yang mengejutkan adalah bahwa para pelaku ternyata masih orang-orang terdekat korban yang seharusnya melindungi korban. Sungguh ironis.
Kekerasan seksual pada anak, ada kekerasan seksual yang tidak disertai pembunuhan dan kekerasan seksual yang disertai pembunuhan. Hukuman untuk kedua kasus ini jelas harus berbeda. Seperti yang terjadi pada kasus-kasus di atas.
Hukuman hendaknya tetap didasarkan pada kesalahan. Cara ini bisa jadi adil. Namun melihat dari semakin maraknya kekerasan seksual yang terjadi dengan tambahan akhiran membunuh, memang hukuman yang ada harus direvisi. Ditambahkan dalam klausul-klausul peraturan yang akan dibuat oleh para stakeholder yang membidangi. Satu hal jangan dilupakan, bahwa kekerasan seksual yang semakin meningkat bukan hanya terjadi begitu saja. Pasti ada penyebabnya. Alangkah lebih baik jika ingin mengebiri pelaku, jangan lupa kebiri juga penyebab-penyebab pelaku melakukan kejahatannya.
Menguatkan Keluarga
Persoalan di atas terlalu naif jika kita muntahkan semua kepada premis “Itu semua kesalahan tersangka. Mereka mabuk dan melakukan semua hal yang tidak seharusnya. Mereka para pelaku biadab! ” Atau yang lebih keji, “Itu salah korbannya. Kenapa pulang sendirian.” Tanpa bercermin secara massal dan bertanya ke relung hati terdalam kita masing-masing, Apakah yang terjadi murni hanyalah dampak dari perilaku hidup sebagian masyarakat kita secara individu? Atau sebetulnya, ini ada korelasinya dengan dampak akumulasi seluruh aspek kehidupan kita yang selama ini kita jalani?
Secara individual maupun kelompok, nampaknya persoalan ini bisa diketengahkan menjadi tanggung jawab bersama. Maka jangan heran jika kemudian setiap peristiwa akan “menyala seketika”. Seperti kasus-kasus di atas. Timbul gerakan massa. Solidaritas bertagar dan semacamnya. Ternyata masyarakat bisa membangun sesuatu yang positif. Kita bisa membuktikan bahwa sesuatu baik yang diolah secara benar, dijadikan agenda bersama, ternyata akan mampu menggalang kekuatan bersama melawan persoalan.
Adalah pendidikan yang ada di keluarga, yang harus dikuatkan sebagai kelompok primer dalam masyarakat. Pendidikan di keluarga merupakan penguatan peran keluarga dalam mendidik semua anggotanya-khususnya anak-. Keluarga harus dikuatkan menjadi alur kerja sama yang erat antar pribadi. Menjadi sebuah lilin yang harus selalu menyala. Utamanya untuk anak-anak dan estafet sepanjang hayat bagi semua anggotanya. Orangtua melakukan pendidikan dan perlindungan kepada anak dari bayi masih di kandungan, saat anak masih balita, bahkan hingga dewasa.
Orangtua jangan lelah memberikan pendidikan dan perlindungan kepada putra-putrinya. Dengan begitu, peran sentral semua keluarga bagi setiap anggota masyarakat akan membantu setiap anggotanya untuk saling menjaga dan menahan diri sehingga tercipta lingkungan yang jauh dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap anak.
Memaknai kebangkitan beragam jenisnya. Kebangkitan bukan hanya mengandalkan Indonesia. Membangkitkan Indonesia bisa diawali dari kebangkitan keluarga. [*]
Oleh: Aldi Yudawan
Guru IPA/Sains. Pegiat literasi bagi anak. Tinggal di Bogor