Banyak kasus penipuan berkedok agama dan kepentingan ekonomi di negeri ini. Dua-duanya, setelah ditelusuri biasanya juga terkait persoalan ekonomi alias UUD; ujung-ujungnya duit. Celakanya, walau kejadian berulang masih saja ada masyarakat yang percaya hingga terulang menjadi korban.
Biasanya praktek sejenis terungkap luas setelah ada satu dua orang baru menyadari telah menjadi korban penipuan. Lalu, seperti biasa kehebohan terjadi. Pemberitaan luas merebak. Keprihatinan berbagai kalangan bermunculan. Tak berapa lama, semua kehebohan kembali seperti tertelan bumi; hilang dari ingatan masyarakat.
Masyarakat lupa. Dan karena lupa kembali beberapa waktu kemudian, kasus sejenis muncul kembali. Terulang pula drama kehebohan seakan kelanjutan cerita sinetron dengan judul dan pemeran berbeda.
Ada apa dengan masyarakat negeri ini? Mengapa begitu mudah melupakan berbagai tindak salah kaprah yang kadang sudah masuk katagori kriminal. Benarkah ini terkait sikap ramah dalam format kecenderungan pemaaf, sehingga begitu kasus penanganannya selesai masyarakat lantas melupakan?
Jangan lupa –agar tak ketularan lupa- kejadian-kejadian sejenis kadang terkait perilaku di pentas politik. Gampang sekali masyarakat melupakan kejadian negatif misalnya, yang terjadi di internal partai, atau yang dilakukan oleh politisi. Begitu gampangnya sikap itu di kalangan para politisi muncul sebuah konsepsi bahwa perilaku negatif, kejadian negatif tak perlu dikhawatirkan asal jangan sampai berdekatan sebuah moment politik. “Paling banter setelah tiga bulan, masyarakat lupa,” begitu ungkapan yang sering muncul.
Bukan hal aneh penyakit mudah melupakan bahkan kecenderungan mengabaikan kejadian negatif di masa lalu menyebabkan kerugian-kerugian besar pada masyarakat. Jika terkait politik, akhirnya yang terpilih memimpin atau mewakili ternyata orang-orang bermasalah. Jika terkait penipuan masyarakat tertipu hartanya; jika menyangkut penyelewengan agama kadang berbentuk tindak asusila, termasuk pula kerugian finansial.
Apakah masyarakat Indonesia kurang cerdas? Tidak juga. Terbukti bahwa ketika moment kejadian sebut saja sebagai contoh kasus Dimas Taat, masyarakat mengetahui dan mengerti. Bahkan begitu gencar kerisauan serta kegregetanan masyarakat menyaksikan sikap intelektual Marwah Daud yang dinilai masyarakat masih saja membela dan membenarkan kelakuan salah. Ini menegaskan bahwa masyarakat Indonesia cukup cerdas memahami masalah.
Sikap pemaaf, mudah melupakan lalu diwarnai berbagai latar belakang problem sosial agaknya menjadi pemicu utama. Sikap pembiaran pihak berwenang, terlambat bertindak hingga korban begitu luas, juga ikut andil. Namun yang tak kalah penting adalah kurangnya intensitas pencerahan pemikiran dari para tokoh masyarakat, baik agamawan maupun tokoh di lingkungan sosial.
Ada jarak cukup jauh antara misalnya ulama dengan ummat, terutama ketika menyangkut persoalan keseharian. Ini karena kecenderungan pemahaman keagamaan yang terlalu focus persoalan ubudiyah sementara pemahaman persoalan muamalat agak kurang. Tak heran jika kemudian banyak sekali masyarakat terperosok menjadi korban berbagai penipuan keuangan.
Sudah saatnya ulama, tokoh agamawan, tokoh masyarakat lebih intens memberikan pencerahan menajamkan logika masyarakat terutama terkait persoalan muamalat. Pada sektor itulah seringkali masyarakat jadi korban baik yang langsung dalam bentuk penipuan keuangan maupun yang kadang diawali lebih dahulu melalui manipulasi keyakinan keagamaan.
Pintu keyakinan keagamaan tergolong paling ampuh karena sikap religius masyarakat negeri ini. Celakanya sebagian besar –untuk tak menyebut seluruhnya- menipulasi agama selalu ujungnya, baik diam-diam maupun terbuka terkait penipuan materi. Agama agaknya memang paling gampang alat jadi legitimasi penipuan keuangan karena unsur manipulasi keyakinan yang kadang diselewengkan dengan cara mematikan ketajaman berpikir. Begitulah.
