Kosa kata pungutan liar yang populer dengan sebutan Pungli seperti sedang reinkarnasi; seperti bangkit dari kubur setelah sekian lama tenggelam. Pungli pernah lama digembar-gemborkan ketika negeri ini masih berada di era Orde Baru. Saat itu pungli seakan musuh dari angkasa luar yang perlu dihabisi dari berbagai arah. Walhasil setiap menteri ketika itu seperti tidak afdol kalau dalam menyampaikan sambutan tidak menyebut atau menyinggung soal pungli.
Kini, di era reformasi perang menghadapi pungli kembali jadi konsumsi pemberitaan. Seperti di masa Orde Baru, semangatnya memang tak perlu diragukan. Gegap gempita hampir mengalahkan pemberitaan soal demonstrasi besar-besaran Jumat, tanggal 4 November 2016.
Bagaimana tentang kelakuan menteri? Seperti banyak sosiolog berkata bahwa sejarah selalu berulang, kebiasaan menteri di masa Orde Baru juga terulang di era reformasi. Para menteri dan pejabat tinggi tak lupa meneriakkan dan menegaskan kometmen memerangi pungli. Dan untuk meyakinkan khalayak, yang agaknya sudah kurang peduli lagi, berbagai sock terapi diberitakan besar-besaran walau kadang kasusnya sebenarnya “tidak besar-besar amat.”
Yang barangkali agak berbeda karena kini era sudah berubah, rezim tak lagi otoriter, walau pemberitaannya agak lumayan, masyarakat terkesan seperti ogah-ogahan. Tidak jelas, ogah-ogahan karena merasa kurang yakin pada genderang perang menghadapi pungli, menganggap biasa soal pungli atau bisa jadi efek jenuh yang mengarah elergi pada istilah pungli.
Semua tahu niat memerangi pungli dari pemerintah sangat serius. Paling tidak, untuk beberapa waktu. Namun, karena “hanya” beberapa waktu itu –dan itu sering terulang- menjadi pelengkap penyebab reaksi ogah-ogahan masyarakat. Sebuah fenomena penyakit sosial di negeri ini, yang sampai saat ini belum sembuh total sehingga menimbulkan resistensi sosial dari masyarakat.
Sekali lagi –ini karena sudah seringkali- tak perlu diragukan semangat pemerintah memberantas pungli. Namun yang perlu dipertanyakan mengapa pemerintah masih saja asyik bermain-main di wilayah retorika. Mengapa masih sibuk dengan pembentukan semi kelembagaan baru? Bukankah berbagai regulasi dan bahkan contoh riil upaya memberantas pungli sudah ada dipraktekkan? Mengapa bukan regulasi yang eksplisit mengamatkan pembentukan sistem yang disegerakan?
Regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah pasal 17 misalnya sudah menegaskan tentang kewajiban membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu. Juga –ini sudah diterapkan pertama kali di Surabaya- e-budgeting, yang terbukti berjalan efektif. Pengadaan barang dan jasa melalui e-procurement, termasuk perluasan penggunaan e-catalog, e-purchasing bukankah tinggal diwajibkan, diefektifkan dan diperketat pengawasannya? Semua itu instrumen dalam bentuk sistem memanfaatkan teknologi komputer (online system) yang niscaya dapat menjadi pagar utama mencegah pungli.
Ada beberapa daerah di negeri ini yang sudah efektif melaksanakan berbagai sistem itu seperti Kota Surabaya dan Jakarta, yang telah menerapkan e-budgeting. Ada pula daerah yang bila masyarakatnya mengurus izin misalnya, tak perlu bertemu dan hanya cukup menyerahkan berkas di tempat yang disediakan. Lalu, jika memang ada biaya dipersilahkan langsung transfer dengan bukti transfer diserahkan bersama dengan berkas. Sesuai ketentuan waktu, masyarakat kemudian mengambil izin yang diajukan pada tempat yang disediakan, tanpa harus bertemu siapapun. Semua berjalan berdasarkan sistem, tanpa perlu bertemu siapapun hingga praktis mengurangi kongkalikong.
Tanpa perlu berikir nyelimet. Berbagai sistem itu jika diterapkan jauh lebih efektif mencegah praktek-praktek pungutan liar. Dan masyarakat akan merasakan langsung serta tentu saja pasti yakin karena memang terbukti. Jauh berbeda kan, dibanding seremoni, pembentukan lembaga, retorika dan sejenisnya yang hanya kelihatan hebat gaungnya. Begitulah.
