JAKARTA – Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Azis menilai, target pertumbuhan ekonomi di RAPBN-P 2013 sebesar 6,2 persen menunjukkan sikap pesimistis pemerintah terhadap perbaikan ekonomi dalam negeri di tahun ini. Bahkan, target pertumbuhan pemerintah jauh lebih rendah dibanding target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 sebesar 7-7,7 persen. Kegagalan mencapai target RPJMN tahun 2014 secara umum disebabkan karena pemerintah belum mampu memanfaatkan besarnya potensi ekonomi domestik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. ” Apalagi setiap tahunnya realisasi pertumbuhan ekonomi selalu berada di bawah target. Sepertinya baru sekali pertumbuhan ekonomi itu tercapai,” kata Harry dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR tentang Pembahasan RAPBN-P 2013 dengan Menteri Keuangan Chatib Basri, Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana dan Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin di Gedung Perleman Jakarta, Selasa (28/5).
Pada 2012 saja, kata Harry, realisasi pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6,2 persen, padahal pemerintah mengasumsikan di angka 6,5 persen. “Berkaca pada tahun 2012, targetnya meleset 0,3 persen. Jika di tahun ini ditargetkan 6,2 persen, bisa saja keyakinan pemerintah hanya sebesar 5,9 persen atau paling tidak 6 persen,” tutur Harry.
Pernyataan Harry tersebut menanggapi penilaian Anggota Komisi XI DPR, Melchias Markus Mekeng yang menyebutkan bahwa koreksi pertumbuhan ekonomi 2013 tidak bisa diterima akal sehat. “Faktor apa yang paling dominan membuat pertumbuhan ekonomi kita dikoreksi drastis dari 6,8 persen menjadi 6,2 persen? Sesuatu yang tidak masuk akal, padahal di forum internasional ekonomi Indonesia selalu dibilang baik,” kata Mekeng.
Di tempat yang sama, Chatib Basri menjelaskan, koreksi pertumbuhan ekonomi ke angka 6,2 persen tersebut didasari oleh realitas pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. “Penentuan angka growth tentunya harus berbasis realitas. Di Kuartal I tahun ini saja, angkanya 6,02 persen,” ucap dia.
Alasan kedua, lanjut Chatib, terkait dengan perkiraan melambatnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB/investasi) di 2013. “Selain itu, ekspor kita juga tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Dan, ekspor kita juga tidak bisa diandalkan,” jelasnya.
Dengan demikian, kata Chatib, apabila target pertumbuhan ekonomi ditetapkan tidak kredibel dengan situasi perekonomian yang terjadi, maka nantinya pasar akan merespon bahwa pemerintah tidak berpandangan pada realita yang terjadi. “Penting bagi kami angka ini kredibel. Kalau kami datang dengan target pertumbuhan yang tidak realistis, maka bisa menimbulkan persepsi di pasar bahwa kami tidak hands on dengan persoalan yang ada,” paparnya.
Perlu Terobosan
Sementara itu, anggota DPR Ecky Awal Mucharam menilai kegagalan pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi disebabkan peran konsumsi modal pemerintah yang terus menurun telah menghambat pencapaian pertumbuhan yang lebih baik. Karena itu, dia berharap pemerintah perlu mencari terobosan agar konsumsi modal pemerintah mampu menjadi stimulus pertumbuhan. Pemerintah perlu memperbaiki eksekusi belanja modal yang selalu dibawah 80 persen. “Pemerintah juga perlu terus menjaga dan mengoptimalkan investasi atau pembentukan modal tetap domestik bruto (PMTDB) sebagai sumber pertumbuhan penting. Sebab semakin membaiknya kinerja umber pertumbuhan tersebut akan memberikan nilai tambah yang lebih besar dalam perekonomian terutama untuk penciptan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan,” imbuh dia.
Hal ini juga sangat penting mengingat pertumbuhan ekonomi yang terlalu bergantung pada konsumsi masyarakat, bersifat autopilot, cenderung bersifat jangka pendek dan tidak berkualitas.
Untuk menjaga Investasi atau PMTDB, Ecky berharap pemerintah perlu memperbaiki daya saing ekonomi Indonesia yang terus merosot. Laporan The Global Competitiveness Report 2012-2013 yang disusun oleh World Economic Forum menyatakan bahwa Indonesia mengalami penurunan indeks daya saing global dari peringkat ke44 tahun 2011, menjadi peringkat 46 tahun 2012 dan menurun lagi menjadi peringkat ke 50 pada 2013. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Bank Dunia, di mana peringkat kemudahan bisnis di Indonesia terus mengalami penurunan. Peringkat doing business tahun 2013 kembali menurun ke posisi 129 dari posisi tahun 2012 pada peringkat 128, dan 2011 pada peringkat 126. “Kondisi penurunan daya saing ini harus diatasi secara sungguh-sungguh”, tambah dia.
Lebih lanjut dia meminta agar pertumbuhan ekonomi nasional cenderung bertumpu pada sektor-sektor ekonomi yang bersifat non tradable perlu diperbaiki. Sedangkan sektor tradable, yaitu sektor pertanian, pertambangan dan industri pengolahan, belum optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Padahal ketiga sektor tersebut bersifat padat karya dan merupakan kontributor terbesar perekonomian. “Sejak beberapa tahun terakhir, pertumbuhan sektor tradable selalu berada di bawah pertumbuhan PDB. Hal ini juga menjadi penyebab pemerintah sulit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik,” pungkas dia. (gam/bud)