Di tengah perdebatan tentang “mengapa” pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyelinap pertanyaan menarik “bagaiamana jika pemerintah tidak membubarkan atau membiarkan HTI?” Apa konsekwensi hukum bagi pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo dari perspektif konstitusi?
Pertanyaan terkesan sederhana ini ternyata sangat serius. Cobalah simak dengan cermat sumpah Presiden Jokowi berikut ini. “Demi Allah saya akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadilnya. Memegang teguh UUD 1945, menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada bangsa dan Negara.”
Dari sumpah Presiden saat dilantik itu terlihat tanggungjawab besar pada pundak Presiden Jokowi untuk memegang teguh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di negeri ini dan menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya. Menjadi tanggungjawab Presiden agar seluruh instrument hukum dapat berjalan efektif di tengah masyarakat negeri ini.
Tanggungjawab sangat berat itu dalam bentuk aplikatif menegaskan tentang keharusan berupaya agar masyarakat negeri ini melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Di sisi lain, Presiden Jokowi bertanggungjawab menjaga UUD 1945 dan berbagai perangkat Undang-undang dan peraturan dari gangguan orang perorang maupun sekelompok orang. Melaksanakan dan menjaga konstitusi merupakan dua tugas seorang Presiden sebagaimana sumpahnya.
Inilah yang sedikit dilupakan sebagian masyarakat Indonesia ketika muncul Perpu nomor 2 tahun 2017 yang merupakan perubahan Undang-undang nomor 17 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Termasuk pula ketika pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Padahal semuanya merupakan pelaksanaan tanggungjawab seorang Presiden sesuai sumpah yang diucapkannya saat dilantik.
Para pemilih Presiden sudah tentu akan mempertanyakan sumpah dan tanggungjawab seorang Presiden bila ternyata membiarkan perilaku perorangan dan kelompok masyarakat yang secara sengaja melabrak dan melawan konstitusi dan perundang-undangan. Masyarakat luas sangat mungkin akan menuntut Presiden bila ternyata membiarkan berbagai pelanggaran itu.
Secara logika sehat seorang Presiden akan memilih melaksanakan sumpah dengan resiko apapun sebagai tanggungwab melaksanakan amanah rakyat memegang teguh konstitusi, perundang-undangan dibanding katakanlah membiarkan di depan mata perilaku penyimpangan yang secara riil melabrak dan melawan konstitusi dan perundang-undangan.
Ibaratnya, seorang aparat keamanan yang secara normatif memiliki tugas dan tanggungjawab mengamankan akan dituntut hukum, memiliki konsekwensi dianggap sebagai seorang tidak menjalankan hukum bila membiarkan sebuah tindakan yang mengganggu keamanan.
Di sinilah persambungan logika ketika pemerintah membubarkan HTI. Langkah-langkah pembubaran itu bahkan mutlak harus dilakukan Presiden Jokowi sebagai bentuk riil pelaksanaan amanah dan tanggungjawab seorang Presiden. Bila tidak membubarkan HTI bahkan bisa berlaku sebaliknya, Presiden Jokowi bisa dituntut melepaskan jabatan sebagai Presiden karena dianggap membiarkan pelanggaran dan perlawanan pada konstitusi negara.
Logikanya sebenarnya sangat sederhana . Masyarakat negeri ini mengetahui bahwa HTI secara normatif dan perilaku keseharian dengan jelas menegaskan akan mengganti Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan khilafah. HTI eksplisit menolak keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bahkan ditegaskan dalam jejak-jejak digital maupun dalam bentuk buku-buku pedoman organisasinya. Tanpa ragu para tokoh-tokoh HTI bahkan menganjurkan agar NKRI ini diganti dengan khilafah.
Apakah sepak terjang HTI yang secara terbuka menolak dan melabrak keberadaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 itu dapat dibiarkan berlangsung terus tanpa ada tindakan hukum? Jawabanya sangat jelas, justru pemerintah berbalik akan dituntut hukum bila membiarkan praktek-praktek perlawanan pada eksistensi dan konsitusi negeri ini.
Diakui atau tidak seharusnya jauh sebelumnya pemerintah –era sebelum Prosiden Jokowi- bertindak membubarkan HTI. Bahwa HTI nantinya melakukan perlawanan hukum sepenuhnya menjadi hak HTI walau tindakan itu merupakan ironi. Bukankah HTI pada dasarnya tidak mengakui keberadaan pemerintah termasuk instrument hukumnya?
Presiden Jokowi, sebagai pucuk pimpinan pemerintahan disumpah harus menjaga kedaulatan Negara ini dari rongrongan kalangan manapun. Demikian pula masyarakat dari kalangan manapun selayaknya kometmen menjaga NKRI tanpa terbelenggu berbagai kepentingan sempit serta perbedaan baju politik. Semua kekuatan negeri ini harus bersatu demi tetap tegaknya Pancasila, UUD 1945 serta NKRI.