JAKARTA-Pemerintah dan DPR diminta berinisiatif membentuk undang-undang (UU) yang mengatur perlindungan dan pengembalian aset negara. UU tersebut akan memudahkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan otoritas keuangan untuk bekerja maksimal dalam mengembalikan keuangan Negara. “Sekarang ini PPATK memiliki beberapa persoalan yang perlu dilakukan terkait tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Salah satunya adalah sosialisasi perlunya undang-undang pengembalian aset negara,” kata Kepala PPATK, Muhammad Yusuf Selasa (18/6).
Menurut dia, pembentukan UU ini sangat diperlukan. Hal ini mendung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap sejumlah kasus korupsi. “Misalnya kasus Irjen DS (Djoko Susilo), kasus Elnusa senilai 100 miliar rupiah, kasus pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan 74 miliar rupiah,” imbuh dia.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggandeng PPATK melakukan langkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (money laudring) dan pendanaan terorisme. Kerjasama kedua institusi ini meliputi pertukaran informasi, penyusunan ketentuan hukum dan pedoman, koordinasi pemeriksaan, edukasi dan sosialisasi, hingga melakukan riset dan pengembangan sistem teknologi informasi. “Soal pertukaran informasi, atas dasar inisiatif sendiri dan permintaan PPATK, maka OJK dapat memberikan informasi ke PPATK mengenai hasil tugas dan kewenangan OJK,” ujar Ketua OJK, Muliaman Hadad di Jakarta, Selasa (18/6).
Sementara itu, lanjut dia, kerjasama di bidang penyusunan hukum akan dipublikasikan dalam bentuk permintaan saran dari masing-masing pihak. “Di bidang audit, OJK dan PPATK saling berkoordinasi dalam rangka audit kepatuhan atas kewajiban pelaporan PJK oleh OJK dan audit khusus yang dilakukan PPATK,” ujar Muliaman.
Muliaman menambahkan, kerjasama di bidang edukasi dan sosialisasi akan lebih fokus memberi pemahaman kepada PJK dan lembaga jasa keuangan. “OJK dan PPATK akan melakukan pendidikan dan pelatihan secara mandiri maupun secara bersama-sama. Selain itu, kami juga bisa saling memberi tugas kepada masing-masing pegawai di dua institusi ini,” tutur dia.
Muliaman mengaku akan membawa institusi Pusat Kajian Anti Pencucian Uang (PK-APU) ke dalam organisasi OJK. PK-APU merupakan organisasi yang terbentuk atas kerjasama BI dan PPATK. Namun saat ini pusat kajian yang ada di bawah kendali BI tersebut tidak berjalan optimal karena ada sejumlah kendala yang harus dihadapi terkait dengan upayanya menciptakan industri keuangan yang kondusif. “Usaha BI dan PPATK untuk mencegah dan memberantas money laundering melalui PK-APU tidak berjalan efektif. Karena itu, kami berkeinginan membentuk pusat-pusat anti money laundering, karena yang ada selama ini sedikit mengalami hambatan. Kami akan mencari cara agar pusat riset ini bisa membantu otoritas dalam menumbuhkan awareness di masyarakat,” imbuh dia.
Seperti pembentukan PK-APU antara BI dan PPATK, menurut Muliaman, lembaga riset ini juga akan menggandeng lembaga akademik. “Kami akan mendorong sejumlah universitas untuk bekerja sama di sini, seperti Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang bekerja sama dalam terbentuknya pusat riset sebelumnya,” terang Muliaman.
“Waktu zaman Pak Yunus Husein (Kepala PPATK sebelumnya), bersama saya waktu sebagai Deputi Gubernur BI, sudah ada usaha-usaha mencegah dan memberantas pencucian uang. Sekarang ini, OJK bersama Kepala PPATK yang baru (Muhammad Yunus) akan mengevaluasi lagi pusat kajian ini dan akan memaksimalkan perannya di OJK,” kata Muliaman.,” pungkas dia. (gam/bud)