Pekan lalu sebuah moment menarik mewarnai kehidupan sosial politik negeri ini ketika putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming bertemu putra Presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono. Sekalipun pertemuan keduanya sama sekali tak membicarakan persoalan politik namun sebuah pembelajaran mengesankan telah dipancarkan ke seluruh pelosok negeri ini.
Awalnya sebenarnya merupakan agenda pertemuan Presiden Jokowi dengan Agus Harimurti Yudhoyono. Gibran yang sejak lama ingin bertemu Agus meminta izin kepada bapaknya untuk ikut bertemu. Presiden Jokowi yang dikenal selalu santai tak keberatan dengan kehadiran Gibran.
Usai pertemuan antara Presiden Jokowi dan Agus, suasana kemudian beralih pada pertemuan dua anak muda itu. Diwarnai jamuan makan siang Gudeg dan Bubur Lemu, makanan khas Jogya, yang memadukan bubur dengan gudeg, Presiden Jokowi seperti memberikan kesempatan kepada kedua anak muda itu menjalin silaturahmi. Keduanyapun sebagaimana diberitakan berbagai media, berbicang akrab dalam suasana sangat cair penuh kekeluargaan.
Ketika beberapa wartawan usil “nyeletuk” pertemuan keduanya untuk 2024, baik Gibran maupun Agus tertawa lebar. Keduanya agaknya menganggap keusilan wartawan sebagai canda juga. Maklum saja, 2019 saja masih dua tahun lagi, apalagi bicara tahun 2024. Pertemuan keduanya praktis hanya merupakan jalinan pertemanan khas anak muda.
Apa yang menarik dari pertemuan dua anak muda, yang tak berbeda jauh usianya itu? Pemberian kesempatan oleh Presiden Jokowi kepada dua anak muda untuk bercengkrama penuh keakraban memberikan pembelajaran hubungan sosial politik sangat penting bagi masyarakat negeri ini. Presiden Jokowi seakan menyampaikan marilah melihat dua anak muda dari orang tua, yang latar belakang politik berbeda namun mampu menjalin pertemuan penuh persaudaraan. Perbedaan politik, atas dasar apapun tidak perlu menciptakan ketegangan. Perbedaan hanya terletak pada bingkai dan bukan pada subtansi tujuan berpolitik. Tujuan berpolitik semuanya memiliki kesamaan yaitu membawa bangsa Indonesia menjadi lebih baik.
Jika yang berusia dan berdarah muda, yang masih penuh gairah serta kadang semangatnya masih meletup-letup mampu beramah tamah dalam nuansa persaudaraan, selayaknya yang dewasa dan telah matang berpolitik lebih memiliki kemampuan mengembangkan iklim politik penuh kedamaian dan persaudaraan.
Kedua anak itu seperti mengingatkan kepada para politisi aktif di negeri ini, termasuk kepada seluruh rakyat negeri ini, yang belakangan mudah terjebak ketegangan dalam berbagai komunikasi di media sosial, untuk menyingkirkan sikap dan ujaran bernada kebencian. Keduanya seperti mengajak menjalin persaudaraan, kebersamaan demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Gibran dan Agus juga seperti ingin mengajak generasi muda mensinergikan seluruh kemampuan untuk hal produktif, yang memberi manfaat bagi bangsa Indonesia. Perbedaan tidak boleh menciptakan jarak kebersamaan dan persaudaraan. Perbedaan selayaknya dibiarkan sekedar melahirkan keanekaragaman ide, gagasan untuk mencari methode terbaik bagaimana mewujudkan negeri ini menjadi lebih baik. Bagaimana berprestasi dan produktif memberikan sumbangsih demi negeri tercinta dengan mengabaikan perbedaan yang sebatas bingkai partai.
Diplomasi gudeg dari dua anak muda, di moment Indonesia memperingati hari kemerdekaan ke 72, semoga menginspirasi seluruh rakyat negeri ini. Semoga menyegarkan ingatan dan mengambil hikmah perjuangan para pendiri republik ini, yang berjuang keras tanpa pamrih dalam semangat kebersamaan, persaudaraan dengan menyingkirkan sekat-sekat dalam bentuk apapun demi kemerdekaan Indonesia; sebagai jembatan emas mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta sejahtera.