JAKARTA-Program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak sepenuhnya berjalan mulus karena menggunakan data kedaluwarsa yang belum diverifikasi. Akibatnya, banyak warga miskin yang seharusnya menerima harus gigit jari. “Kami melihat fakta di lapangan banyak masalah yang muncul. Akar masalahnya adalah data BPS yang digunakan pemerintah tahun 2011,” kata Anggota Komisi VIII DPR TB Ace Hasan Sadzily pada diskusi bertema “Carut Marut Pembagian BLSM” di gedung DPR, Kamis (4/7). Pembicara lainnya adalah Pakar kebijakan publik Andrinof Chaniago.
Menurut dia, dari data sensus penduduk tahun 2011 yang dipakai pemerintah dalam membagi BLSM kepada warga miskin memicu memunculkan banyak masalah mendasar.
Ace mengatakan seharusnya pemerintah tidak menggunakan data itu karena dalam 2 tahun banyak terjadi perubahan mendasar dari masyarakat. “Seharusnya dengan 2 tahun terjadi proses perubahan terjadi pada angka kemiskinan,” ujarnya.
Dia menyayangkan data lama dipakai pemerintah. Untuk itu Ace mengatakan kalau pihaknya meminta dengan tegas agardata itu diperbaharui. Kalau perlu, kata dia, digunakan data baru dalam membagikan BLSM. “Karena data 15,5 juta penduduk bukan hanya untuk BLSM saja tapi juga raskin,” tegasnya.
Dia menegaskan lagi tidak bisa data yang dipakai sekarang dipakai untuk penerima BLSM. Pada 30 Juni 2013, kartu penerima BLSM dari 10 juta yang disebarkan dikembalikan sebanyak 9386 kartu. “Artinya data sudah tidak update lagi,” ujarnya
Sementara itu, pengamat kebijakan public, Andrinof Chaniago mengatakan penyaluran BLSM 2013 sangat amburadul karena menggunakan data lama yang belum diverifikasi dengan benar. “Kali ini memang sangat buruk, masih lebih baik pembagian BLT pada 2008 silam. Saat itu ada data yang baik, ada sosialisasi, dan persiapan cukup waktu,” ujarnya.
Amburadulnya penyaluran BLSM ini terjadi karena didasari oleh kepentingan politik, bukan untuk pembagian kepada rakyat dengan baik. “Kalau pembagian BLSM kali ini, mau sok cepat, memang cepat, tapi banyak yang ditolak penerima, karena merasa tidak berhak menerima,” sindirnya.
Apalagi, sambung Dosen FISIP UI ini, BLSM kali ini tidak ada sosialisasi. “Iklan-iklan di teve atau koran yang disampaikan pemerintah, bukan untuk sosialisasi, tapi untuk mengubah pikiran, pemakai BBM saat ini tidak tepat sasaran, karena 60% digunakan oleh orang kaya,” terangnya.
Celakanya, para pejabat pemerintah saat ini terpaksa meninggalkan sejumlah pekerjaannya. Karena harus mengurus penyaluran BLSM yang amburadul. Kondisi seperti ini jelas makin mengurangi kecepatan pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan yang sekarang ini sudah lamban. “Pejabat, termasuk sejumlah menteri, terpaksa disibukkan oleh buruknya penyelenggaraan BLSM,” ucapnya.
Adrinof menegaskan pembagian BLSM amburadul karena data BPS sudah kadaluarsa. Data BPS 2011 seharusnya diperbaharui untuk kepentingan sekarang. Tapi, karena nekad digunakan sekarang, maka tak terelakkan, banyak orang yang sudah meninggal masih diberi jatah, penerima pindah rumah, dan sudah berubah status menjadi tidak miskin lagi.
Belum Cukup
Secara terpisah, Direktur Indef Enny Sri Hartati mengatakan program BLSM belum cukup untuk menjadi obat penawar atas dampak dari kebijakan tersebut. BLSM tidak akan mempertahankan daya beli masyarakat akibat dari kenaikan harga BBM subsidi. Selain itu, BLSM tidak seimbang dengan beban hidup masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari. “BLSM enggak bisa mempertahankan daya beli masyarakat. Kalau penambahan beban hidup dengan kenaikan BBM masa Rp 5.000 per hari cukup. Itu hanya mengkompensasi beberapa pengeluaran,” ujar Enny.
Menurut dia, kompensasi BLSM sebesar Rp 150.000 per bulan per rumah tangga sasaran hanya mampu mengkompensasi biaya transportasi masyarakat miskin saja. Apalagi, tarif angkutan umum juga mengalami kenaikan atas dampak dari kenaikan harga BBM. “Angkot naik Rp 500. Sehari apabila dia pulang pergi jadi Rp 1.000. Kalau satu rumah tangga berjumlah 4-5 orang, artinya Rp 5.000 hanya bisa mengkompensasi transport saja. Kenaikan bahan makanan, kesehatan dan lain-lain ini dari mana?” tegas dia. (gam/cea)