JAKARTA – Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mengungkapkan, pelanggaran aturan ketenagakerjaan lebih banyak dilakukan oleh perusahaan BUMN ketimbang perusahaan swasta.
Hal tersebut seperti dikemukakan Direktur Jenderal Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenakertrans, Irianto Simbolon di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (16/7). “Perusahaan BUMN harusnya menjadi panutan dalam menegakkan aturan ketenagakerjaan, tetapi dalam hal ini swasta justru jauh lebih baik,” kata Irianto.
Sepanjang Januari hingga Mei 2013, kata Irianto, jumlah kasus yang ditangani Kemenakertrans mencapai 44 kasus, baik kasus yang berkaitan dengan pelanggaran jam kerja maupun terkait kasus pemutusan hubungan kerja. Dari jumlah kasus tersebut, lanjut dia, terdapat 16 kasus yang merupakan sengketa antara pekerja dengan perusahaan BUMN.
Menurut Irianto, sengketa ketenagakerjaan yang terjadi di PT Kereta Api Indonesia (KAI) tercatat sebagai masalah yang paling sulit ditangani. “Kami mengundang direktur utama, tetapi yang hadir malah perwakilan dari sumber daya manusia. Kalau direksi bersikap seperti ini, maka akan sulit tercipta perubahan,” ujarnya.
Perilaku serupa, ucap Irianto, juga terjadi di beberapa perusahaan BUMN lainnya, seperti PT PLN, PT Dirgantara Indonesia dan PT Telkom. Saat ini, jelas dia, perusahaan-perusahaan itu masuk ke dalam daftar perusahaan paling menyimpang dalam urusan ketenagakerjaan.
Di tempat yang sama, Menteri Perindustrian, MS Hidayat mengaku, pemerintah telah mendapatkan kabar bahwa berbagai serikat pekerja akan kembali menuntut kenaikan upah buruh sebesar 50 persen di 2014. Tuntutan para pekerja ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Menurut Hidayat, tuntutan tersebut diyakini akan memberatkan para pengusaha, karena besaran kenaikannya dianggap terlalu berlebihan. “Saya kira belum tentu substansi tuntutannya baik untuk ekonomi nasional,” kata Hidayat di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (16/7).
Hanya saja, lanjut dia, tuntutan tersebut juga akan mengganggu investasi di dalam negeri, sehingga berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Namun demikian, kata Hidayat, saat ini pihaknya tengah menyusun rumusan terkait besaran gaji para pekerja yang sesuai dengan kebutuhan dan tidak membebani pengusaha.
Hidayat menjelaskan, rumusan besaran gaji pekerja itu akan dihitung berdasarkan angka inflasi tahunan. Hasil kalkulasi trsebut, kata dia, akan ditambah dengan variabel hasil kesepakatan antara buruh dan pengusaha.
“Kenaikan upah sebesar 10 persen cukup ideal. Kalau saat ini inflasi itu 7,2 persen ditambah sekian persennya itu bisa ambil 3 persen. Saya kira itu kenaikan yang normal dan wajar,” tuturnya. (gam/bud)