JAKARTA- Perang dingin antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terus berlanjut hingga kini. Pemicunya adalah pembangkangan PKS atas kebijakan pemerintah terkait kebijakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sayangnya, baik SBY maupun kubu PKS belum berani mengambil sikap tegas. “Dua-duanya kayak macan ompong, SBY dan PKS enggak ada yang mau keluarin. Jadinya seperti Tom and Jerry. Harusnya keluarkan saja,” kata Sekretaris Dewan Pakar PPP Ahmad Yani yang juga anggota Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (13/6).
Yani memprediksi, SBY tak akan berani memecat PKS dari Setgab Koalisi. Pertimbangannya, karena keduanya saling membutuhkan. “Makanya PKS ini tidak mungkin dia keluar karena dibutuhkan. Dan Presiden juga enggak akan,” ungkapnya.
Menurutnya, PKS masih memiliki daya pikat untuk SBY. “Untuk butuhkan dukungan. Kalau enggak, Golkar akan ambil peran,” kata Yani.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PAN, Dradjad Wibowo melihat gaya bahasa tubuh SBY mengisyaratkan PKS memang sudah ditendang dari koalisi. “Sebagai orang Jawa, saya melihat sebenarnya SBY memakai cara Jawa dalam meminta PKS keluar dari koalisi. Mungkin karena PKS sering tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah,” kata Dradjad di Jakarta, (13/6).
Menurut Drajat, dalam tradisi politik Jawa memang ada cara-cara penolakan secara halus. Karena dalam pergaulan politik itu jelas ada sopan-santunnya, termasuk etika berpolitik. “Cara Jawa ini biasanya tersirat melalui bahasa sinyal atau bahasa tubuh, tapi jelas dimengerti oleh mereka yang bertata-krama dan atau memahami budaya Jawa,” tambahnya.
Lebih jauh Dradjad memberikan contoh nyata, misalkan kalau ada tamu sudah larut malam. Namun tidak pulang-pulang. Biasanya pemilik rumah berdehem, melihat jam atau yang paling kasar mengatakan “sampun dalu nggih” (sudah malam ya). “Tamu akan tahu diri bahwa sudah saatnya dia pergi,” ujarnya.
Yang jelas, alumnus IPB ini mempertanyakan sikap PKS yang tak tahu malu, menunggu diusir tuan rumah. Sehingga seolah “tamu” itu terzalimi. “Hemat saya akan lebih ksatria kalau sebuah partai itu bersikap kaffah atau totalitas. Kalau koalisi, ya secara kaffah, demikian juga kalau oposisi,” ungkapnya.
Tak Elok
Ditempat terpisah, Mensesneg Sudi Silahi, juga menduga PKS menginginkan agar tuan rumah mengusir dari koalisi. “Mungkin itu (dikeluarkan) yang diharap-harap mereka,” tegasnya
Menurut Sudi, tak elok parpol koalisi menentang keputusan pemerintah. SBY juga telah menyindir agar parpol tidak mengklaim mencintai rakyat dengan menolak kenaikan harga BBM. “Saya menyampaikan apa yang disampaikan beliau (presiden), tidak etis, tidak elok apalagi dilakukan parpol di koalisi,” ucapnya.
Padahal PKS dalam rapat koalisi sempat menyetujui kenaikan harga BBM. “Sebelumnya saya mendampingi Presiden menerima Majelis Syuro PKS didampingi Menteri Salim Segaf, tiba-tiba kejadiannya seperti ini, kita tidak tahu,” keluh Sudi.
Padahal kenaikan harga BBM dilakukan SBY karena tidak ada pilihan lain. “Kita menyadari yang punya mobil mewah yang terima subsidi. Dan ini subsidi ingin kita alihkan ke rakyat miskin, siapa yang nggak setuju?” tutupnya.
Sementara itu, Sekjen PPP, M. Romahurmuziy juga mempertanyakan sikap PKS yang masih betah di koalisi. Padahal berseberangan dengan pemerintah. “Meskipun menjadi sulit dijelaskan, atas alasan apa mereka (PKS) masih bertahan dalam koalisi, saat sikapnya terus berseberangan,” ujarnya.
Atas sikap PKS yang berseberangan, Romi-panggilan akrabnya, mengaku PPP tentu menyesalkan sikap tersebut. Apalagi disertai pembentukan opini, seolah-olah yang mendukung kenaikan BBM tidak pro rakyat, dan yang anti kenaikan BBM pro rakyat.
Padahal, menurutnya, mendukung kenaikan BBM, adalah sikap pro rakyat kecil. Karena 70% subsidi BBM selama ini dinikmati kelas menangah ke atas. (gam/abd/cea)