JAKARTA-Anggota Komisi XI DPR, Sadar Subagyo mengungkapkan, kondisi utang luar negeri swasta sudah sangat mengkhawatirkan, mengingat pada September tahun ini akan ada utang jatuh tempo sebesar 41 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Kondisi ini kian membahayakan karena dalam beberapa bulan terakhir tren cadangan devisa di Bank Indonesia (BI) terus mengalami penurunan. “Kalau dilihat pola dan besaran utang swasta yang terjadi saat ini, kondisinya mirip-mirip dengan kondisi menjelang krisis 2008,” kata Sadar usai mengikuti Rapat Paripurna di Gedung DPR Jakarta, Selasa (25/6).
Dengan demikian, jelas Sadar, kondisi utang luar negeri swasta perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan BI, karena rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah mencapai 30 persen. “Utang luar negeri swasta saat ini sudah mengerikan, September ini akan ada jatuh tempo 41 milar dollar AS. Jadi, perlu dicari solusi dan mengantisipasi peningkatannya,” ucap politisi dari Partai Gerindra tersebut.
Namun, lanjut Sadar, krisis ekonomi seperti di 2008 akan bisa terhindar, apabila sebagian besar debitur swasta itu sudah memiliki cash collateral terhadap utangnya. “Tetapi, kalau mereka sampai menggerus cadangan devisa kita, maka ekonomi kita dipastikan akan terjungkal,” kata Sadar sembari menyebutkan, per Mei 2013 cadangan devisa di sebesar 104,8 dollar AS atau menurun dibandingkan sebulan sebelumnya yang masih 107,3 dollar AS.
Berdasarkan data BI, hingga Februari 2013 total utang luar negeri swasta bank maupun bukan bank telah mencapai 127,092 miliar dollar AS. Jumlah ini lebih besar dibandingkan pada Januari 2013 yang hanya 125,05 miliar dollar AS. Apalagi jika dibandingkan dengan bulan Februari 2012 yang jumlahnya sebesar 109,423 miliar dollar AS.
Problem Serius
Sementara itu, pengamat ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Dani Setiawan mengatakan problem konstitusional yang serius dari postur anggran pemerintah adalah tidak optimalnya pemerintah menggenjot penerimaan negara. Hal ini menyebabkan kebutuhan belanja yang terus meningkat, tidak dibarengi dengan pembiayaan yang cukup. Sehingga APBN selalu didesain defisit, yang oleh karena itu selalu mengandalkan utang. “Jika kita sebelumnya terus mempertanyakan kualitas penggunaan belanja yang tidak konstitusional dalam APBN, sudah saatnya saat ini kita mempertanyakan konstitusionalitas penerimaan negara. Mengapa target penerimaan dan rasio, pajak selalu kecil?,” ujar Dani dengan nada tanya.
“Mengapa pemerintah tidak punya strategi yang jelas untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam,” imbuh dia.
Padahal optimalisasi penerimaan di sektor sumber daya alam dapat mengakhiri ketergantungan terhadap utang sekaligus dapat membuat anggaran menjadi seimbang, bahkan surplus. “Tetapi memang pemerintah memilih menempuh jalan paling gampang. Apalagi dibalik utang yang diterima ini ada fee. Inilah penyebab, mengapa kita tidak bisa lepas dari jebakan utang,” tutur dia.
Dani mengingatkan pemerintah mengenai dampak negatif dari ketergantungan terhadap utang. Negara yang mapan secara ekonomipun bisa ambruk karena utang yang menggunung. “Sebelum terlambat, saya kira, pemerintah harus menghentikan kebiasaan mengandalkan pembiayaan negara dari utang. Resikonya terlalu besar bagi negara ini,” pungkas dia. (gam/bud)