JAKARTA- Bank Indonesia (BI) tidak terikat pada batas psikologis angka tertentu untuk menetapkan kebijakan nilai tukar. Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo menegaskan nilai tukar Rupiah dimungkinkan lebih lemah dari Rp10.000 per dollar AS, tetapi dimungkinkan juga lebih kuat dari angka itu. “Kami meyakini bahwa nilai tukar dimungkinkan bila lebih kuat dari Rp10.000 per dollar AS atau lebih lemah dari Rp10.000 per dollar AS,” kata Agus Marto, ketika ditemui di DPR, seusai menghadiri rapat kerja dengan Banggar DPR, Rabu (10/7).
Hal yang sama ia sampaikan mengenai cadangan devisa. Bila selama ini berkembang wacana bahwa batas psikologis cadangan devisa BI ialah US$100 miliar, Agus Marto menepis hal itu. “Kami juga sangat meyakini bahwa cadangan devisa kalau dia lebih rendah dari US$100 miliar itu dimungkinkan,” kata mantan menteri keuangan itu.
Ditambahkannya pula, ada berbagai faktor yang mempengaruhi nilai tukar. Ia melihat perkembangan ekonomi global juga membawa tekanan terhadap Rupiah. Hal itu tercermin pada neraca pembayaran. “Inflasi di dalam negeri juga ikut mempengaruhi. Kebutuhan akan valas dari dari kegiatan impor kita juga berdampak pada nilai tukar,” tutur dia.
Satu hal yang menurut Agus Marto menjadi garis kebijakan nilai tukar BI ialah menjaga terwujudnya nilai tukar Rupiah yang stabil dan mencerminkan fundametalnya.
Sementara itu, Ekonom Bank Danamon Dian Ayu Yustina mengatakan masih kuatnya posisi dollar AS di pasar berkembang membuat nilai tukar rupiah terus melemah. Di transaksi pasar uang hari ini, rupiah melemah 12 poin (0,12 persen) ke level 9.966 per dolar Amerika Serikat (AS).
Yustina mengatakan, kondisi pasar berkembang yang masih diwarnai aksi jual investor asing masih menjadi faktor yang membebani rupiah. “Tidak hanya rupiah, seluruh mata uang di pasar berkembang juga cenderung melemah terhadap dolar AS.”
Menurut dia, BI telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga rupiah agar tetap stabil di koridornya. Namun, tekanan global memang sedang kurang menguntungkan aset-aset di pasar berkembang, termasuk mata uang Asia. “Kalau rupiah menguat sendirian justru aneh,” katanya.
Membaiknya perekonomian negeri Abang Sam, yang ditunjukkan dengan membaiknya data manufaktur dan tenaga kerja, menjadi alasan bagi bank sentral AS (The Fed) untuk menghentikan program stimulusnya.
Dimulai dengan pemotongan anggaran pembelian obligasi US$ 85 miliar per bulan mulai September, dan dihentikan sepenuhnya mulai 2014 mendatang. Meski tekanan global masih dominan, rupiah berpotensi terimbas sentimen positif dari dalam negeri. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia 11 Juli kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan (BI rate) sebanyak 25 poin ke level 6,25 persen.
Menurut Dian, kenaikan suku bunga akan mendorong investor asing untuk kembali masuk ke pasar domestik karena ada potensi kenaikan imbal hasil. “Kenaikan BI rate akan memicu penguatan temporer bagi rupiah,” ujar Dian.
Hingga pukul 17.20 WIB, mata uang euro ditransaksikan di US$ 1,2814, poundsterling US$ 1,4890, dan yen 100,12 per dolar AS. Dari Asia, dolar Singapura ditransaksikan di 1,2770 per dolar AS, won 1.135,97 per dolar AS, dan yuan 6,1345 per dolar AS. (gam)