Oleh: Muhammad Ali Fuadi*
Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) periode 2014-2019 sudah berjalan hampir sebulan setelah dilantik pada 1 Oktober 2014 yang lalu. Melihat hal itu, kita pun bahagia karena telah memiliki pemimpin-pemimpin baru yang kita harapkan mampu menjadikan negara lebih bermartabat dengan kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan rakyat.
Pada saat kampanye, mereka telah memberikan janji-janji politik dengan beragam atau bervarian jenisnya. Karena itu, kini kita harus sabar menunggu realisasi janji yang telah dikoar-koarkan selama kampanye tersebut.
Perjalanan kepemimpinan selama lima tahun ke depan cukup panjang bagi wakil rakyat untuk memberikan sumbangan berupa kebijakan-kebijakan yang tepat dan menguntungkan rakyat. Kita tahu bahwa rakyat telah memberikan dukungan sepenuhnya kepada mereka baik karena tertarik dengan janji-janji politik, kewibawaan para kandidat, maupun hal yang lain. Semua itu harus selalu diingat oleh para kandidat yang sekarang telah berhasil menduduki satu kursi di DPR. Mereka berkesempatan menikmati ruangan wakil-wakil rakyat atas pilihan rakyat, maka kinilah saatnya mereka menyejahterakan orang-orang yang telah memilihnya.
Jika secara saksama melihat sidang perdana yang dilaksanakan oleh anggota DPR-RI pada 1 Oktober 2014 di Gedung Rapat Paripurna Nusantara II DPR-RI, Senayan, Jakarta, tentu kita akan tidak berhenti mengelus dada. Sebab, sidang tersebut tidak berjalan dengan mulus karena ada perbedaan pendapat yang sulit diselesaikan dengan baik. Dari sejumlah anggota DPR-RI yang mengikuti sidang, di antaranya ada yang tidak sepakat dengan keputusan yang telah diambil pimpinan sidang Popong Otje Djunjunan, karena telah menetapkan Setya Novanto dari Fraksi Partai Golkar sebagai Ketua DPR-RI periode 2014-2019. Sedangkan wakil ketua diduduki oleh Fadli Zon (Partai Gerindra), Agus Hermanto (Fraksi Partai Demokrat), Fahri Hamzah (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), dan Taufik Kurniawan (Fraksi Partai Amanat Nasional). (Kompas, 01/10/2014)
Jika demikian halnya, mau dibawa ke mana rakyat kita ke depan. Baru melaksanakan sidang perdana saja sudah ricuh dan tidak memperlihatkan etika sebagai anggota DPR dengan lebih baik. Lantas, apabila hal tersebut justru dijadikan budaya ketika melaksanakan sidang-sidang ke depannya, bisa dipastikan kebijakan-kebijakan yang dibuat selanjutnya tidak berdasarkan tuntutan rakyat yang sesungguhnya, karena ada banyak unsur politik serta hegemoni politik di dalamnya. Karena itu, para anggota DPR-RI harus menghilangkan budaya semacam itu ketika sidang dilaksanakan, dan yang terpenting harus mengutamakan kepentingan rakyat. Sebab, hal tersebut akan menjadi catatan buruk bagi mereka, dan rakyat pun ditakutkan akan tidak percaya lagi dengan mereka. Meskipun sidang perdana diliputi amarah, semoga sidang-sidang selanjutnya tidak terulang kembali.
Catatan DPR-RI 2009-2014
Berdasarkan hasil laporan yang diungkapkan oleh Ketua DPR-RI periode 2009-2014 Marzuki Alie, anggota DPR-RI dalam periodenya telah berhasil mengesahkan 126 Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU). Dari 126 RUU tersebut, 69 di antaranya merupakan RUU prioritas, sedangkan 56 yang lain merupakan RUU kumulatif terbuka. Dan kini masih meninggalkan 27 RUU prioritas yang masih dalam pembahasan atau pembicaraan di komisi-komisi dan juga pansus. Hasil tersebut sangat jauh dari target yang telah ditetapkan DPR sebelumnya.
Pada tahun 2010, DPR memiliki target 70 RUU prioritas tetapi hanya mampu menyelasikan 8 UU. Pada tahun 2011 DPR hanya berhasil menyelesaikan 18 UU dari target 93 RUU prioritas. Begitu pula pada tahun 2012, DPR hanya menyelesaikan 10 UU dari 64 RUU prioritas. Kondisi tersebut diperparah pada tahun 2013 yang hanya menghasilkan 7 UU dari 70 RUU prioritas. Sementara pada tahun 2014 ini, dari target 66 RUU prioritas, DPR mampu menyelesaikan 26 UU.
Berdasarkan hasil tersebut sudah jelas bahwa para anggota dewan belum bekerja secara maksimal. Bisa disimpulkan bahwa ternyata anggota dewan yang menjabat periode sebelumnya tidak memiliki kualitas yang mumpuni. Sebab, mereka hanya mampu menghasilkan UU dengan kapasitas kecil. Dan inilah tantangan bagi para anggota dewan periode 2014-2019, yang harus melampaui kinerja anggota dewan sebelumnya.
Pemimpin yang Peka
Melihat hasil yang telah ditorehkan anggota DPR sebelumnya, maka yang harus dilakukan oleh para anggota dewan saat ini dan selanjutnya adalah memperbaiki komunikasi politik di dalam pemerintahan. Komunikasi politik sangat diperlukan dalam momentum seperti ini, apalagi gedung DPR dewasa ini sedang dihuni oleh dua koalisi parpol yang sama-sama besar, yakni Koalisi Indonesia Hebat (Koalisi pendukung Jokowi-JK) dan Koalisi Merah Putih (Koalisi pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa). Hal tersebut wajib dilakukan agar kepemimpinan mendatang lebih baik bahkan mencapai hasil yang memuaskan bagi rakyat. Tentunya harus menghasilkan UU dengan jumlah banyak dan semuanya pro-rakyat.
Sangat tidak logis ketika DPR yang bekerja dalam pemerintahan selama lima tahun hanya mampu menghasilkan 126 RUU yang kemudian diresmikan sebagai UU, apalagi sebagian besar UU yang telah dihasilkan tersebut bukan semuanya RUU prioritas. Idealnya, dalam waktu yang cukup lama seharusnya para anggota dewan mampu menghasilkan separuh lebih dari target yang telah ditetapkan dalam setiap tahunnya, bahkan seharusnya lebih banyak. Akan tetapi realitanya tidak demikian. Mereka hanya mampu menghasilkan Undang-undang dengan jumlah sedikit.
Sudah disebutkan di awal bahwa dewasa ini percaturan politik yang ada di nusantara terdapat dua kubu yang sama besar. Oleh karena itu, mereka harus saling bersinergi untuk membangun bangsa menjadi lebih unggul, baik di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Dalam konstitusi atau UUD 1945 telah disebutkan bahwa kedudukan lembaga-lembaga negara adalah sama. Artinya, semua lembaga-lembaga yang terhimpun di bumi nusantara tidak ada yang derajatnya lebih tinggi, karena semuanya sama. Dengan begitu, mereka memiliki kekuasaan yang seimbang.
Dalam rangka mewujudkan hal itu maka lembaga-lembaga negara harus memiliki sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances). Sistem tersebut sangat diperlukan guna menjamin agar lembaga kekuasaan negara tidak melampaui batas kekuasaan yang dimilikinya. Mereka harus saling mengawasi antara yang satu dengan yang lain, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan negara. Hal inipun harus diterapkan di dalam dua kubu yang kini bertarung di gedung DPR, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Checks and balances sangat dibutuhkan dalam perjalanan arah koalisi-koalisi tersebut ke depannya untuk membangun bangsa Indonesia menjadi lebih baik.
Karena pentingnya kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh para wakil rakyat, mereka harus lebih peka—dengan tanpa mendapatkan stimulus atau rangsangan dari siapapun—terhadap situasi dan kondisi rakyat, bagaimana kebijakan yang tepat diberikan untuk rakyat, agar rakyat tidak merasa didhalimi. Sudah sekian lama rakyat Indonesia terpuruk karena disandera oleh kepentingan-kepentingan politik para elite. Oleh sebab itu, para wakil rakyat harus bersikap tertutup terhadap intervensi-intervensi parpol, sekalipun itu parpol pengusungnya. Agenda utama para wakil rakyat haruslah kepentingan seluruh rakyat, bukan segelintir kelompok maupun golongan saja. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*) Ketua Bidang Demokrasi di Center for Demokracy and Religius Studies (CDRS) IAIN Walisongo Semarang