Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin*
Dalam waktu dekat, tepatnya pada tanggal 20 Oktober 2014, Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) akan dilantik. Bersamaan dengan itu, dia bertanggung jawab merealisasikan salah satu janjinya, yaitu membentuk kabinet profesional. Kabinet yang dimaksud adalah susunan anggota kabinet terdiri dari para menteri yang akan dipilih sesuai keahlian di bidang masing-masing tanpa ada unsur politik balas budi, nepotisme, ataupun kepentingan pribadi lainnya.
Dalam menyusun anggota kabinet, Jokowi harus benar-benar memperhatikan aspek-aspek utama para calon menteri agar semua visinya bisa terealisasikan dengan baik. Terlebih harus sejalan dengan tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 paragraf empat, salah satunya yaitu memajukan kesejahteraan umum. Itu bisa tercapai bila Jokowi memiliki para menteri yang berkualitas. Sebab, menteri ibarat tiang sokoguru suatu rumah. Kualitas kekokohan dan eksistensi rumah itu tergantung dari kualitas tiang-tiang itu. Bila tiang-tiang itu hanya bagus secara covernya alias bagus bagian luarnya saja, sedangkan bagian dalamnya tidak berkualitas, maka rumah itu tidak akan mampu bertahan lama dan akan segera roboh karena lapuk dan rapuh.
Begitu pula dengan bangsa ini. Apabila Jokowi dalam memilih menteri hanya bagus secara covernya, misalnya gagah, tampan, atau cantik, namun otak mereka tidak berisi dan miskin ilmu serta pengalaman kepemerintahan dan berpolitik, maka tinggal menunggu kehancuran negeri ini karena dikendaliikan oleh para menteri yang tidak berkualitas, berorientasi pragmatis, serakah, serta lebih memprioritaskan kepentingan pribadi, partai politik, dan atau kelompoknya dari pada kepentingan umat. Hal ini selaras dengan salah satu hadist nabi yang secara substansial menjelaskan bahwa apabila kekuasaan dimandatkan terhadap orang yang bukan ahlinya, maka tinggal menunggu kehancurannya.
Maka dari itu, dalam memilih menteri, jangan sampai Jokowi berlaku seenaknya sendiri meskipun pada hakikatnya itu merupakan hak prerogratifnya bila tidak ingin Indonesia hancur akibat dikelola para menteri abal-abal. Apalagi jika sampai dia sembarangan dalam memilih menteri, maka itu setali tiga uang dengan mempermainkan bangsa ini. Implikasinya adalah kondisi bangsa ini bukan akan semakin aman, makmur, dan sejahtera, tapi malah akan semakin semrawut dan runyam. Akibatnya, kemiskinan, PHK, pengangguran, kriminalitas, dan pelacuran akan meningkat. Jika demikian terjadi, tentu itu sungguh ironis bagi bangsa Indonesia karena semakin mendekati kehancuran. Dan di akhirat kelak nerakalah tempat bagi Jokowi.
Sesungguhnya, memilih menteri bagaikan memilih istri. Bila Jokowi bersungguh-sungguh ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat, setidaknya dia bisa menerapkan kriteria atau aspek-aspek dalam memilih calon istri untuk memilih para menteri. Sebab, para menterilah yang nanti akan mendampingi Jokowi dalam menyelesaikan mandat pemerintahan hingga lima tahun ke depan. Maka, antara Jokowi dengan para menteri bisa dibilang sehidup semati. Dengan kata lain, mereka harus bisa hidup harmonis dan bersinergi untuk saling melengkapi demi terealisasinya semua janji-janjinya ketika berkampanye. Karena janji adalah hutang, al wa’du daynun.
Dalam ajaran Islam, secara umum aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam memilih calon istri diantaranya taat kepada Allah Swt., nabi, serta suami, sekufu atau sederajat, menyenangkan jika dipandang, subur (mampu memberikan keturunan), menjaga auratnya, dan nasabnya baik. Sedangkan, menurut satu hadist nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. ada empat kriteria utama yang harus diperhatikan dalam memilih istri, yaitu harta, kedudukan, kecantikan, dan agamanya.
Adapaun dalam tradisi Jawa, dalam memilih istri, seorang pria harus mempertimbangan dari aspek bobot, bibit, dan bebet. Aspek bobot meliputi kualitas diri, lahir batin, keimanan, pendidikan, pekerjaan, kecakapan dan perilaku. Sedangkan aspek bibit meliputi asal usul keturunan atau latar belakang. Dan aspek bebet merupakan aspek sosial yang meliputi harkat, martabat, dan prestige.
Oleh karena itu, sebagai Presiden, Jokowi harus memilih para menteri berdasarkan beberapa kriteria. Pertama, taat kepada Tuhan YME., Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan Undang-Undang (UU). Dalam istilah Jawa, ini merupakan aspek bobot. Karena menteri termasuk komponen negara yang ikut andil dalam mengendalikan pemerintah dalam satu bidang tertentu, maka seorang menteri harus dari sosok orang yang bertakwa, beriman kepada Tuhan YME., memahami, menguasai, dan mau mengamalkan substansi Pancasila ke dalam kehidupan sehari-hari, serta mematuhi segala peraturan yang tercakup dalam UUD 1945 maupun UU.
Kedua, berderajat. Maksudnya adalah seorang menteri harus berderajat menteri. Artinya, menteri harus cerdas dan kompeten di bidangnya, berkualitas, profesional, berkredibel, dan berintegritas. Dalam istilah jawa disebut mumpuni. Sehingga, secara otomatis akan terwujud kabinet profesional, bukan gadungan alias ‘abal-abal’. Termasuk menteri harus memiliki rekam jejak yang baik, terutama tidak pernah terlibat masalah hukum atau bahkan korupsi. Aspek ini dalam tradisi Jawa juga termasuk dalam aspek bobot.
Ketiga, subur. Maksudnya adalah seorang menteri dituntut mampu menghasilkan sesuatu yang bersifat inovatif dan berharga sebagai bukti dari kinerjanya yang memang berkualitas. Dengan kata lain, itu disebut sebagai prestasi. Sehingga rakyat bisa merasakan nyata astar dari kepemimpinannya di bidangnya. Jadi, menteri harus memiliki target konkrit dalam melaksanakan tugas-tugasnya baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Keempat, menjaga auratnya. Artinya, seorang menteri harus bisa menjaga aib bangsa, terutama dari kacamata bangsa lain. Sehingga, bangsa ini akan tetap berharga dan bermartabat di mata bangsa lain.
Maka, dalam memilih menteri, jika Jokowi ingin memperoleh menteri idaman rakyat, setidaknya dia harus menggunakan beberapa pertimbangan di atas. Sebab, di antara beberapa poin itu saling berkaitan satu sama lain. Apabila salah satu poin tidak dipenuhi, maka jangan harap Jokowi bisa mendapatkan menteri idaman. Implikasinya, kabinet profesional pun hanya menjadi mimpi. Kesejahteraan rakyat pun juga hanya mimpi.
Semoga Jokowi bisa memperoleh para menteri idaman rakyat sebagaimana istri idaman, sehingga terbentuk susunan kabinet profesional dan terwujud masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, dan diridloi Allah Swt. Wallahu a’lam bi al-Showab.
*) Pembimbing Tahfidz di Monash Insitute; Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi IAIN Walisongo Semarang