Cerpen Marsus Banjarbarat
Angin bertiup perlahan. Kertas berwarna-warni bergelantungan melambai-lambai di sudut-sudut ruangan. Di beberapa ruas dinding ditulis kalimat-kalimat doa dengan huruf arab. Tulisan-tulisan itu dilukis dengan nuansa warna pelangi. Sementara, di dinding lain yang agak lebar, terdapat sebuah gambar unta besar yang ditunggangi.
Kertas-kertas yang bergelantungan dengan berbagai pernak-penik indah itu terus bergerambai ditiup angin. Bergoyang-goyang mengikuti arah mata angin yang mendesir. Pada saat itulah senyum sumringah tumpah-ruah di bibir setiap orang yang berada di rumah Asripa, perempuan janda setengah tua yang kini menunaikan hajatnya ke Mekkah.
Semua tetangga yang datang ke rumah Asripa tampak senang berbunga-bunga. Mereka pada berharap, sepulang Asripa dari tanah suci membawakan oleh-oleh khas Mekkah untuknya. Tetapi, tidak dengan Farida! Melihat keindahan dan kemegahan rumah Asripa, Farida menyipitkan sepasang matanya yang kalut. Ia pandangi gerambai umbul-umbul dan pernak-pernik itu dengan hati terluka. Apalagi ketika ia melihat dan mengeja huruf demi huruf yang tertera di dinding yang bertuliskan “Selamat datang Hj. Rustami dari tanah suci Mekkah. Semoga menjadi haji yang mabrur,” seketika hati Farida hancur.
Farida memandang lekat-lekat tulisan itu. Bersamaan dengan kepalan tangannya kuat-kuat. Ia ingin sekali merobek-robek semua gambar lukisan di dinding itu. Lebih-lebih tulisan nama tersebut yang tiba-tiba menjelma tombak menusuk-nusuk bidang hatinya. Farida tahu, nama itu adalah Asripa yang telah dirubah menjadi Hj. Fatimah di Mekkah sana.
***
Sebenarnya, sebelum Asripa alias Hj. Fatimah berangkat ke Mekkah, jauh-jauh hari sebelumnya Farida telah menyetor uang haji ke Bank. Farida memang terhitung orang paling awal memiliki niat menunaikan ibadah haji. Tetapi, akhirnya gagal karena musibah menimpanya. Sang suami diserang penyakit parah, harus operasi, sehingga memerlukan biaya besar. Lantas ia menjual semua lahan sawah dan menggadaikan emas pemberian almarhum ibunya kepada Asripa. Naifnya, sudah menghabiskan biaya banyak, sang suami tidak berhasil diselamatkan. Dan emas yang ia gadaikan sampai saat ini belum juga mampu ditebus. Bahkan, kata Asripa emas itu akan ia anggap menjadi miliknya jika sampai Asripa berangkat haji tidak ditebus.
Farida masih terpaku memandang gerambai umbul-umbul yang terus bergoyang-goyang ditiup angin. Bola matanya yang bundar semakin membulat menubruk lukisan-lukisan yang menempel di dinding. Semakin ia tatap tulisan itu, semakin pula hatinya terbakar api kemarahan.
Ah, bukankah seharusnya umbul-umbul, lukisan-lukisan, dan nama ‘haji’ itu tidak menempel di dinding rumah Asripa. Melainkan menempel di dinding rumahku. Farida membatin. Pikirannya berputar-putar teringat niatnya yang gagal untuk ke Mekkah.
***
“Saudara-saudara, Hj. Rustami saat ini sudah berada di Prenduan, dalam perjalanan menuju Sumenep. Bagi saudara-saudara yang hendak ikut menjemput, bersiap-siaplah. Sebentar lagi rombongan akan berangkat.” Suara Sucipto, ketua RT itu terdengar nyaring di speaker.
Satu mobil avanza dan dua pickup sewaan, serta puluhan pawai motor sudah berjajar rapi di belakang rumah Asripa. Tidak lama berselang, hadrah mulai ditabuh dengan lantunan salawat. Di belakang rumah Asripa suara raungan knalpot motor juga bertalu-talu menggetarkan detak jantungnya. Rombongan hadrah dan pawai motor itu segera berangkat menyambut kedatangan Asripa atau Hj. Rustami dari hotel Sumekar hingga ke rumahnya.
Farida berdiri, melongok. Orang-orang pada berduyun-duyun menyaksikan hadrah dan pawai motor. Asap-asap hitam mengepul, meliuk-lingkar keluar dari lubang knalpot.
“Eh, Farida, kamu nggak ikut jemput Bu Haji?” Kata seseorang mendekatinya. Farida tersenyum pahit.
“Da, apa yang kau pikirkan, kok melamun begitu?” Lanjut orang itu melihat sorot mata Farida yang memerah. Orang itu mengira, bahwa Farida tengah meratapi nasibnya yang gagal naik haji.
Asap knalpot mengepul. Debu-debu beterbangan menempel di dedaunan pinggir jalan dan kaca mobil. Suara hadrah bertalu-talu, dentuman knalpot beradu dengan suara ledakan petasan yang direnteng dengan panjang lima meter. Suara-suara itu kian saja perih menusuk-nusuk telinga dan hati Farida.
Tepat di sisi pintu gerbang pertama menuju rumah Asripa, orang-orang sudah pada berjajar menyambutnya.
“Haja Rustami datang, Haja Rustami datang…!” teriak anak-anak sambil berlarian, mengejar mobil dan pawai motor.
Tampaklah dari dalam mobil Asripa tersenyum sumringah mewarnai kegembiraannya. Sesekali tangannya ia terus-menerus dilambaikan kepada setiap orang yang berjajar di pinggir jalan. Dengan khidmat dan penuh rasa haru orang-orang menyambut kedatangan makhluk suci itu.
Ketika hampir sampai di rumahnya, karena mobil tidak bisa masuk langsung ke halaman rumah tersebut, Asripa turun perlahan tepat di bawah pintu gerbang ke dua, dan akan dipapah hingga ke dalam rumah.
Ketika Asripa keluar dari mobil, orang-orang pada merapat membentuk lingkaran dan berusaha memeluk penuh haru. Lantas ditabuhlah hadrah dengan diiringi lantunan salawat secara serentak.
Tala al badru ‘alayna.
Min thaniyatil wada’
Wajaba Shukru ‘alayna.
Ma da’a lillahi da….
Suara tangis pecah seketika. Orang-orang yang telah berhasil memeluk makhluk suci itu—di dalam hatinya seperti memeluk Nabi Muhammad, nabi yang setiap waktu selalu mereka puji-puji, dingin dan terharu. Tiba-tiba tanpa terasa air mata mereka mengalir deras di pipinya. Dalam hatinya berharap, agar dirinya juga dapat berangkat ke tanah suci, ke tanah para nabi.
“Saudara-saudara, tenanglah! Semuanya tetap mendapat giliran memeluk Hj. Rustami.” Sucipto mencoba mengatur orang-orang yang mulai saling dorong berebutan memeluk Asripa.
“Tenanglah, tenang..! Mari kita tertib!” tambahnya. Namun orang-orang tidak mau mendengar imbauan Pak RT tersebut.
Disela-sela orang yang saling dorong berebut untuk memeluk Asripa, Farida malah murung. Tatapannya tajam menubruk makhluk yang katanya sudah suci itu. Ada kobaran api yang membakar hatinya. Sebenarnya Farida tidak ingin ikut-ikutan berebut memeluk perempuan itu. Namun, dari belakang orang-orang mendorongnya ke arah Asripa. Ia pun tidak bisa menghindar. Di belakangnya orang-orang pada menunggu giliran. Dengan terpaksa, Farida kemudian mendekati Farida dan memeluknya. Ketika ia memeluk makhluk suci itu, ia tidak merasakan aura apapun. Malahan dadanya semakin panas terbakar api kesedihan. Saat ia berpelukan, Asripa berbisik di telinga Farida.
“Farida, kau tidak usah bersedih. Kamu pasti juga akan naik haji. Aku telah mendoakanmu tepat di depan Ka’bah dan di depan makam para nabi. Bukankah doa di tempat itu akan terkabulkan?” Bisik Asripa di telinga Farida, hangat.
Farida diam sejenak. Ia mulai mengulum senyum. Benarkah aku akan segera ke tanah suci? Tanyanya dalam hati. Ia kembali mengulum senyum. Kali ini ia merekatkan pelukannya ke tubuh Asripa.
Ketika Asripa melepas pelukannya, Farida tiba-tiba tersentak. Tatapannya tajam membentur lengan tangan perempuan itu yang tampak indah dilingkari emas dengan ukiran intan permata. Ya, emas yang kini sebagai harta satu-satunya telah menjadi milik Asripa. Ingin sekali Farida melepas emas itu dari tangan Asripa dan menerkam tubuh perempuan tersebut, namun ia urungkan!
Yogyakarta, Oktober 2013-2014