Oleh : Miqdad Husein*
Langsung atau tak langsung DPR saat ini secara sadar menjerumuskan dirinya ke dalam pusaran konflik. Ini dimulai sejak “kudeta” kepemimpinan DPR melalui pengesahan UU MD3 baru, yang melalui proses penuh bara beraroma dendam. Kepemimpinan DPR yang sebelumnya, diatur UU Nomor 27 Tahun 2009 berdasarkan urutan partai pemenang pemilu, dirombak total dikembalikan dalam pemilihan sistem paket.
Mekanisme ini seperti periode tahun 2004. Perbedaannya, kini aroma yang berkembang jauh dari kesan obyektif. Jika di tahun 2004 sistem paket praktis tak meninggalkan riak-riak konflik karena titik berangkatnya lebih merupakan pilihan. Kali ini diduga aroma “balas dendam” lebih kental. Tak aneh kalau terasa suasana pengkotak-kotakan DPR dalam kubu yang relatif ekstrim.
Dalam proses pengesahan misalnya, terkesan dipaksakan. Kementrian Dalam Negeri, yang mewakili pemerintah berdasarkan informasi yang layak dipercaya, diberitahu mendadak ketika RUU MD3 baru dibawa ke paripurna DPR. Pembicaraan terkait sistem paket pimpinanpun praktis baru belakangan muncul.
Mudah ditebak pembahasan RUU MD3 baru benar-benar bertitik tolak dari konstelasi politik pasca Pileg. Diwarnai ancang-ancang pertarungan tajam Pilpres. Jadilah muatan kepentingan begitu kental, mengabaikan semangat obyektif sebuah produk UU; yang seharusnya mengurai dan menyelesaikan masalah malah sebaliknya sengaja dibiarkan jadi lahan subur benih-benih konflik.
UU Nomor 27 Tahun 2009 semangatnya memberi apresiasi pada partai pemenang pemilu. Pilihan rakyat pada partai politik dihormati dan dihargai untuk memimpin DPR. Pimpinan DPR karena merupakan lembaga kolektif, tak perlu dibumbui perseteruan sekedar perebutan pimpinan. Kewenangan kepemimpinan pada semua alat kelengkapan karena sekedar berfungsi dan berperan tak jauh beda dengan moderator, ditata berdasarkan keseimbangan “pilihan”rakyat. Praktis semua fraksi baik yang memiliki anggota gemuk maupun yang sedikit mendapat kesempatan tanpa ada warna-warni permusuhan.
DPR saat itu dari sejak dilantik Oktober tahun 2009 langsung dapat bekerja. Rakyat tak perlu menyaksikan akrobat kekanak-kanakan memperebutkan jabatan pimpinan DPR. Interaksi sepenuhnya tertuju pada tugas dan fungsi DPR bukan adu kuat menguasai kursi pimpinan.
Begitulah semangat yang ingin dikembangkan dari UU Nomor 27 Tahun 2009 itu. Pilihan rakyat diapresiasi. Prestasi partai yang mendapat kepercayaan rakyat dihargai. Dan tentu saja yang terpenting, DPR diharapkan lebih mudah membangun kebersamaan menjadi kekuatan penyeimbang atas dasar pertimbangan obyektif.
Dengan kepemimpinan berdasarkan urutan perolehan kursi itu, batas-batas idiologis antar partai mudah sekali mencair. Sebut saja pimpinan DPR yang karena terpilih berdasarkan prestasi kerja saat Pileg, interaksi antar pimpinan maupun dengan para anggota praktis tak ada jarak. Bertolak belakang dengan kepemimpinan saat ini, yang karena lahir atas dasar pengelompokan otomatis melahirkan kelompok berbeda. Bukan kesatuan dan kebersamaan yang dikembangkan namun pengelompokan yang terbukti terus merembes sampai pada hal-hal elementer.
Nah, jika untuk proses mekanisme penyelesaian internal DPR saja mundur, potensial dipenuhi riak-riak pengerasan perbedaan kepentingan apalagi terkait penyelesaian persoalan rakyat. Bisa jadi rakyat makin sulit berharap pada DPR periode sekarang.
*) Kolumnis, tinggal di Jakarta