Mengingat pandangan Whitehead, bahwa destinasi akhir pendidikan adalah “the acquisition of the art of utilizing knowledge” (penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan). Menyelisik lebih bijak pandangan tersebut, sangat jelas memberikan deskriptif betapa pentingnya sebuah pendidikan dalam target mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan yang mencerdaskan adalah pendidikan yang memiliki sprektum filosofis jelas dengan diimbangi konsep dan gagasan secara teo-ritis, yang pada akhirnya diejawantahkan dengan praktis.
Mengingat angka pemba-ngunan pendidikan nasional di Indonesia yang tergolong rendah, memberi kesan pendidikan di Indonesia memprihantikan. Sehingga tak pelak pendidikan yang mencerdaskan masih menjadi dambaan segenap bangsa. Terbukti berdasarkan data Global Information Technology Rank 2008 yang dilansir baru-baru ini oleh World Economic Forum, di bidang penguasaan teknologi informasi, Indonesia berada di pe-ringkat ke-76. Peringkat tersebut masih kalah jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnnya seperti Singapura (5), Malaysia (26), Thailand (40) dan Vietnam (73).
Selain itu, pendidikan di Indonesia dapat pula terbilang ‘memilukan’. Bagaimana tidak? Akhir bulan januari lalu, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Arie Budhiman memberhentikan sembilan kepala sekolah yang diduga telah melakukan pungutan liar di sekolah, Jakarta Pusat, Jumat (23/1/2015). Pendidikan yang diharapkan mampu memberikan kesadaran bagi segenap bangsa, tanpa terkecuali seorang guru agar mencetak benih bangsa yang berkualitas (insan kamil), justru melakukan tindakan senonoh semacam itu.
Dari data tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa pendidikan di Indonesia belum menjadi ‘ruh’ dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkesan tidak wajar jika mengi-ngat usia kemerdekaan Indonesia, seakan pendidikan belum signifikan. Terbukti dengan jumlah output sarjana pertahun yang dilanda kroni pengangguran akibat pendidikan dijadikan sebagai ajang penyemat status. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sarjana menganggur pada Agustus 2009 meningkat 0,49% dari agustus tahun lalu, sedangkan pada 2010 meningkat menjadi 11,92%, dan pada 2011 BPS menyebutkan angka 8.12 juta pengangguran. Berlanjut pada Februari 2013 angka pengangguran mencapai 360 ribu orang, atau 5,04% dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang. Ironi, beginilah potret kelam pendidikan di Indonesia.
Meluruskan Destinasi
Dalam konteks ini, pendidikan yang mencerdaskan mutak dibutuhkan. Tidak hanya perlu menyamakan orientasi untuk mencapainya, juga perlu pelurusan destinasi pendidikan, baik pemerintah pusat, daerah, guru, dan termasuk peserta didik. Bahwa pendidikan tidak lah sebatas untuk kepentingan individualistik dan formalistik belaka, me-lainkan kepentingan sosialistik demi menunjang masa depan bersama menuju bangsa yang berbahagia karena terlepas dari keterkungkungan zona jahiliah modern. Karena itu, tidak berlebihan jika pendidikan yang mencerdaskan dimaknai sebagai kebutuhan dan kewajiban yang mutlak untuk diperjuangkan.
Pendidikan yang mencerdaskan tentu tidak terlepas dari pundi kualitas. Mengingat Goetsch dan Davis dalam buku Total Quality Management (2009) memandang perlu kualitas sebagai acuan dasar menciptakan pendidikan yang dinamis dan progresif. Karena minilik pendidikan di Indonesia, minimal terdapat dua aspek yang menyebabkan pendidikan kendor, yaitu pendidik dan peserta didik.
Tanpa menyalahi kodrat Ilahi, kualitas pendidik dan peserta didik di Indonesia terbilang rendah dan terbelakang dibanding negara Adidaya laikya Amerika Serikat. Namun hal inilah yang menjadi tugas pemerintah untuk mengusut ‘raport merah’ agar negara kembali steril. Tak terelakkan, pendidikan di Indonesia hanya sebatas puing keharmonisan yang sekadar memberi kesan bahwa Indonesia telah merdeka. Padahal, sejauh ini kekerasan dalam lingkup sekolah, kurikulum yang selalu berubah, pendidik yang tidak kompetitif dan profesional, juga tawuran tanpa ‘tawaran’ antar peserta didik menunjukkan pendidikan di Indonesia dalam masalah besar.
Karena itu, untuk memperbaiki pendidikan Indonesia saat ini adalah: pertama, pemerintah harus menetapkan kurikulum secara jelas dan tidak berubah arah pendidikan Indonesia lebih jelas. Mengutip Sukmadinata dalam buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (2000) menegaskan, bahwa hakikat kurikulum dalam pendidikan adalah upaya menu-ju perpaduan dan penyempurnaan tujuan pendidikan dengan memperhatikan pengembangan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan berbekal kurikulum yang jelas, akan menuai sistem pembelajaran yang jelas pula.
Kedua, perlu adanya peme-rataan pendidikan yang memadai. Senada dengan Sa’ud dan Sumantri (2007) untuk membenahi kredo pendidikan di Indonesia yaitu melakukan pemerataan dan perluasan ke-sempatan pendidikan dengan mempertimbangkan kuantitatif dan kualitatif. Tak luput, strategi perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan dasar yang bermutu dijadikan sebagai wahana untuk aktualisasi asas pendidikan sepanjang hayat (life long education).
Ketiga, bagi pihak guru, ja-ngan menjadikan mengajar sebagi tujuan awal mencari upah atau uang. Perlu adanya kesadaran bahwa ilmu bukanlah barang yang dapat diperjualbelikan (commodity). Sekalipun ada pribahasa ilmu itu mahal, idealnya merupakan anjuran keras bagi segenap bangsa untuk mengenyam tuntas pendidikan.
Keempat, sikap loyalitas, profesionalitas dan kompetitif dalam mengajar harus ‘bersetubuh’ dengan destinasi pendidikan. Mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1995 merupakan target yang harus dicapai. Hal ini dapat dimulai dari proses belajar-mengajar yang kondusif dan menyenangkan. Mengutip Soedijarto dalam buku Landasan dan Arah Pendi-dikan Nasional Kita (2008), harus menciptakan suasana sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya dengan diimbangi kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan dirinya yang diperlukan oleh masyarakat (lahir batin).
Kelima, harus ada keseriusan dalam belajar dari peserta didik. Karena capaian maksimal hanya dapat digenggam dengan usaha yang maksimal pula. Selain itu, tidak lepas sikap untuk saling menghormati dan menghargai antara pendidik dan peserta didik. Wallahu a’lam bi al-shawab. [*]
Oleh: Ibnu Anshori
Peneliti Muda di Rumah Perkaderan Monash Institute Semarang