
SURABAYA – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) KH Dr (HC) Ahmad Hasyim Muzadi meminta Negara untuk merumuskan semacam “Piagam Madinah” untuk menyatukan umat Islam Indonesia agar tidak sampai terjadi konflik seperti di Timur Tengah, apalagi jika ada manuver pihak luar.
“Kalau dibiarkan, saya kira konflik antarumat Islam yang terjadi di Timur Tengah akan sangat mungkin terjadi di sini, karena Syiah, HTI, Salafi, dan lainnya itu selalu menghadapkan agama dengan Negara,” katanya di Surabaya, Jatim, Senin (25/5).
“Apalagi jika ada manuver dari pihak luar, karena mereka sangat mungkin dikendalikan oleh pihak di luar seperti ISIS yang ternyata sangat kaya itu. Lain halnya kalau di sijni cuma ada NU dan Muhammadiyah,” tuturnya.
Dalam seminar kebangsaan bertajuk “Hikmah Perjalanan Agung Isra Mikraj dan Kebangkitan Nasional” di Auditorium Pascasarjana ITS Surabaya, ia menjelaskan Nabi Muhammad SAW pernah menyikapi perbedaan masyarakat Madinah dalam agama, baik internal Islam maupun Islam dengan non-Islam, melalui Piagam Madinah.
“Indonesia itu mirip apa yang terjadi di zaman Rasulullah, karena Indonesia bukan Negara Agama seperti Vatikan dan Timur Tengah, dan Indonesia juga bukan Negara Sekuler seperti AS dan Eropa, namun Indonesia merupakan Negara Pancasila atau Daulah Salam (Negara Bangsa) yang menjadikan nilai-nilai agama sebagai inspirasi dalam kenegaraan,” tuturnya.
Menurut Rais Syuriah PBNU itu, Pancasila dapat dijadikan “pintu masuk” dengan mengundang semua tokoh agama dari NU, Muhammadiyah, Syiah, HTI, Salafi, dan sebagainya untuk merumuskan “Mitsaqul Madinah” (Piagam Madinah) seperti di zaman Rasulullah agar tidak terjadi konflik antarumat Islam dan antara umat Islam dengan non-Islam.
“Piagam Madinah itu ada 47 pasal yang intinya ada Ukhuwah Bainal Muslimun, bukan Ukhuwah Islamiyah, karena perpecahan itu bukan karena agama, melainkan perpecahan antarumat, misalnya, soal khilafiyah (beda pendapat) dalam hijab, tarawih, dan sebagainya itu tidak dipertentangkan, lalu persoalan pokok seperti keimanan itu disikapi dengan ‘lakum dinukum waliyadin’ (untukmu agamamu dan untukku agamaku),” paparnya.
Selain Ukhuwah Bainal Muslimun, Piagam Madinah juga merumuskan Ukhuwah Antar-Agama di luar masalah agama, seperti umat Kristen itu bebas dan dilindungi dalam ekonomi. Ukhuwah lainnya terkait Ukhuwah Nasionalitas yang berkaitan dengan masalah kebangsaan.
“Saya kira piagam semacam itu harus dirumuskan Negara bersama sejumlah tokoh agama, karena selama visi keagamaan tidak ada titik temu dengan masalah kenegaraan, maka kegaduhan politik akan terjadi dan tidak menutup kemungkinan konflik yang terjadi di Timur Tengah akan terjadi di sini bila ada pihak luar bermanuver,” tukasnya.
Dalam acara yang dihadiri Rektor ITS Surabaya Prof Joni Hermana, sejumlah dosen, dan mahasiswa itu, pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Malang dan Depok itu mengatakan kesepakatan ala Piagam Madinah dengan “pintu masuk” Pancasila itu akan mengatasi kegaduhan politik, karena kelompok transnasional yang masuk harus tunduk pada kesepakatan bersama itu.
“Jadi, Negara harus berperan seperti Rasulullah yang mengatur dengan Piagam Madinah itu, sebagai Negara Pancasila itu mirip pada zaman Rasulullah. Kalau potensi konflik dapat diredam, karena visi Ke-Islaman dan Ke-Indonesia ada titik temu, sehingga umat Islam akan dapat menyelesaikan masalah internal umat Islam,” ujarnya.
Mantan Ketua Umum PBNU itu mengatakan masalah internal umat Islam yang mayoritas di Indonesia adalah masalah keimanan belum menjadi nilai dalam kehidupan social kemasyarakatan, sehingga masjid mungkin dipenuhi umat yang shalat, tapi korupsi juga marak.
“Kalau keimanan (ritual keagamaan) belum nyambung dalam nilai kehidupan, maka jangan berharap kejayaan ilmuwan Islam di masa lalu akan terulang dan jangan berharap pula pertumbuhan ekonomi umat akan maju. Itu karena kita masih disibukkan dengan konflik internal akibat tidak ada titik temu antara visi keagamaan dengan kenegaraan,” tandasnya.
Bahkan, kesenjangan antara ritual dengan nilai sosial yang terjadi di Negara Islam bisa menyebabkan saling bunuh antarsesama Islam, padahal Islam melarang keras tindak pembunuhan, apalagi sesama Muslim.
“Karena itu, Negara harus menyelesaikan terlebih dulu untuk benturan Islam-Negara, lalu Negara akan aman dan umat Islam bisa melakukan transformasi agama dalam kehidupan sosial. Jangan sampai terjadi Negara Islam tapi tidak Islami, lalu Negara non-Islam justru sangat Islami,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Rektor ITS Surabaya Prof Joni Hermana menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara besar, tapi kebangkitan nasional masih belum menemukan momentum hingga usia kemerdekaan 70 tahun.
“Karena itu, kami mengundang Pak Kiai Hasyim Muzadi. Sebelumnya, kita mengundang Luhut B Panjaitan dan Prof Emil Salim. Dengan demikian, masalah kebangsaan juga menjadi masalah ITS, sehingga ITS lebih dapat berperan dalam masalah kebangsaan,” tambahnya.
(EDY M YA’KUB/ANT)