
Penulis : Lugina W.G. dkk
Penerbit : de Teens
Tahun : cetakan 1, April 2015
Tebal : 240 halaman
ISBN : 978-602-0806-08-2
Imajinasi kreatif anak muda adalah berkah. Dibutuhkan wadah untuk menyalurkan kreatifitas tersebut agar berbuah manfaat. Hal ini pula yang tergambar dari buku berjudul Senja yang Mendadak Bisu yang berisi kumpulan cerita pendek para penulis muda peserta Kampus Fiksi, even yang diadakan penerbit Diva Press. “Lokalitas Inspiratif” adalah karakter yang dipilih menjadi tema cerita.
Para penulis yang berasal dari daerah yang beragam, menjadikan buku ini menjadi mozaik rekam imajinasi anak-anak muda di berbagai daerah di Indonesia. Kearifan budaya lokal diolah dengan sentuhan gaya bercerita masa kini. Dari sana, bentukan yang muncul adalah cerita yang melampaui realitas.
Sebagaimana dikatakan oleh Edi AH Iyubenu, rektor Kampus Fiksi, dalam pengantarnya dalam buku ini bahwa banyak cerita dalam kumpulan cerpen ini menghadirkan hiperrealitas. Para pengarang muda menghadirkan sensasi baru, kesegaran dalam menyecap keluhuran nilai-nilai lokalitas.
Beraneka ragam budaya, mulai dari ujung timur di Papua, tentang suku Dani, adat Toraja, Bali, Sunda, Sumba, bahkan sampai Tionghoa dijadikan latar cerita. Lokalitas digarap dengan paduan berbagai persoalan kehidupan—cinta, rindu, dendam, ambisi, dsb—menjadi kisah-kisah yang tak sekadar bernilai, namun juga penuh kejutan tak terbayang (hiperrealitas). Kejutan tersebut, tak lain karena imajinasi “liar” anak muda yang dituangkan lewat cerita-cerita di dalamnya.
Dalam cerita berjudul Kapurung (hlm 61) menceritakan tentang penantian dan kesetiaan yang justru berbuah kesalahpahaman. Kapurung, makanan tradisional yang berasal dari tanah Sulawesi itu selalu dibuat dan disajikan seorang perempuan yang ditinggal pergi merantau suami bertahun-tahun. Baginya, Kapurung adalah simbol kebersamaan dengan suaminya. Makanan yang sangat digemari suami itu selalu ia sajikan setiap malam, meski suami tak kunjung pulang.
Bertahun-tahun kemudian, si suami akhirnya pulang. Namun, suaminya kecewa saat masuk ke dalam rumah dan mendapati istrinya tertidur beralaskan tikar dan di sampingnya terlihat Kapurung dengan sepasang piring. Sepasang piring itu bagi suaminya sudah cukup menjadi tanda bahwa istrinya sudah tak lagi bersamanya. Kapurung yang awalnya menjadi simbol kesetiaan justru ditangkap sebagai pengkhianatan. Meski pengkhianatan itu pantas didapatkan, karena sekian lama si suami mencampakkan.
Lain lagi dengan cerpen berjudul Senja yang Mendadak Bisu (hlm 192). Dalam cerita ini, dapat dirasakam bahwa senja, yang kita kenal sebagai peristiwa alam yang terjadi menjelang malam, coba dimaknai lebih mendalam lewat sosok Bah Kanta, lelaki tua yang gemar menarik perhatian anak-anak dusun ke bale-bale saung dengan dongeng, hikayat, dan beragam kisah satwa yang ia ceritakan. Riuh anak-anak inilah yang dikenal Bah Kanta sebagai senja.
Namun, kabar bahwa tegalan di sekitar saung telah ditawar pengembang perumahan, membuat Bah Kanta terpukul. Senja pun mendadak bisu. Riuh tawa bocah-bocah, gemericik air sungai dan suara bermacam satwa seketika lenyap dan hanya menyisakan bunyi deru truk pengangkut aspal. Penggambaran berubahan makna senja itu menjadi simbol tentang keasrian dan kesederhanaan yang telah terdesak dan tergilas oleh berbagai kepenti-ngan dalam laju zaman.
Membaca cerita demi cerita dalam buku ini, membuat ingatan kita seolah kembali disegarkan de-ngan nilai-nilai budaya tradisional (lokal) yang mulai ditinggalkan dan tergerus zaman. Dengan dibenturkan dengan tema-tema asmara, impian, kesetiaan, ambisi, keangkuhan, dan lainnya, menjadikan pembaca, terutama pemuda masa kini, menjadi lebih mudah untuk sampai pada pemaknaannya.[*]
Oleh: Al Mahfud
Penikmat buku fiksi, tinggal di Pati.