SURABAYA, koranmadura.com – Senin (15/6) pukul 16.00 WIB merupakan batas akhir pendaftaran calon wali kota (Cawali) dan wakil wali kota (Cawawali) jalur perseorangan di Kota Surabaya.
Namun, tidak ada satupun pasangan calon perseorangan yang menyerahkan dokumen dukungan di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya.
Sebelumnya, sejumlah komisioner KPU mengaku optimistis jika nantinya akan ada calon perseorangan yang mendaftar, mengingat pada Pilkada Surabaya 2010 juga ada pasangan calon perseorangan.
Namun semenjak KPU Surabaya membuka penyerahan dokumen dukungan bagi calon perseorangan pada 11 Mei hingga 15 Juni 2015, ternyata tidak ada peminatnya.
Berbagai asumsi bermunculan, apakah persyaratan calon perseorangan terlalu berat? Ataukah tidak ada yang setara dengan calon wali kota petahana yakni Tri Rismaharini yang kini namanya melambung di tingkat nasional dan internasional?.
Sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015, terdapat beberapa persyaratan dukungan yang harus dipenuhi pasangan calon yang maju Pilkada Surabaya 2015 dari jalur perseorangan.
Pertama, pasangan calon harus mengantongi dukungan yang disertai surat dukungan dari 6,5 persen warga Kota Surabaya, yaitu 182.410 dukungan. Jumlah tersebut juga harus tersebar paling sedikit di 16 kecamatan di Kota Surabaya.
Sekretaris DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Surabaya Syaifudin Zuhri mengatakan untuk mendapatkan dukungan 182.410 tidaklah mudah, karena butuh biaya mahal, karena setiap dukungan harus menyertakan materai seharga Rp 6.000.
“Kalikan saja materai Rp 6.000 dengan 182.410 nanti akan ketemu Rp 1,094 miliar,” katanya.
Belum lagi, lanjut dia, untuk mendapatkan dukungan setiap warga, secara tidak langsung tidak bisa sukarela. Tentunya setiap kartu tanda penduduk (KTA) yang dijadikan syarat dukungan harus disertai kompensasi untuk warga pemilik KTP itu.
“Anggap saja, setiap dukungan mendapatkan Rp50.000, jika dikalikan 182.000, maka akan ketemu Rp9,1 miliar,” katanya.
Biaya tersebut, lanjut dia, belum nantinya untuk keperluan kampanye, tim sukses dan lain-lain yang tentunya bisa saja bisa lebih besar dari itu.
“Makanya wajar jika persyaratan calon perseorangan yang ditetapkan KPU cukup berat,” katanya.
Komisioner KPU Surabaya Purnomo Pringgodigdo mengatakan seharusnya persyaratan itu tidak berat karena ada sembilan daerah di Jawa Timur yang ada calon persoerangan di antaranya Kabupaten Lamongan, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Banyuwangi.
Apalagi untuk Pilkada saat ini tidak semua biaya ditanggung pasangan calon, melainkan KPU. Jika dulu pasangan calon menanggung semua jenis kampanye, untuk sekarang paling tidak beberapa jenis kampanye menjadi tanggung jawab KPU.
“Pilkada sekarang, KPU setidaknya akan memfasilitasi kampanye pasangan calon setidaknya lima baliho, 308 spanduk, hingga 600 umbul-umbul untuk dipasang di seluruh penjuru Kota Surabaya,” katanya.
Dari sisi bahan kamoanye sendiri, kata dia, paling tidak KPU akan menyiapkan 870.000 eksemplar flyer dan poster bagi satu pasangan calon untuk pilkada kali ini.
Belum lagi untuk iklan kampanye. Jenis kampanye yang paling mahal ini akan ditanggung oleh KPU, baik untuk media cetak, radio, sampai dengan televisi. “Sebenarnya sayang sekali jika kesempatan ini dilewati,” katanya.
Namun demikian, lanjut dia, harus diakui bahwa terbitnya Peraturan KPU memang agak terlambat, namun demikian hal ini seharusnya tidak bisa dijadikan alasan karena pengaturan tersebut sudah ada sejak Perppu dibahas, dan Peraturan KPU sendiri mengatur bilamana syarat-syarat administrasi tersebut sudah diupayakan sebelum terbitnya peraturan ini.
“Adanya pasangan calon persorangan di daerah lain juga memperkuat bahwa alasan terlambatnya Peraturan KPU tidak dapat digunakan,” katanya.
Pilkada Aklamasi Selain tidak adanya calon independen dalam Pilkada Surabaya, munculnya pasangan petahana Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana yang akan diusung PDIP sedikit membuat partai-partai lain berpikir ulang, apakah mengusung calon sendiri atau berkoalisi dengan PDIP?.
Hingga dikarenakan saat ini belum ada partai yang terang-terangan mengusung atau memberikan rekomendasi kepada calonnya menjelang pendaftaran di KPU pada Juli mendatang. Ini dimunginkan adanya kekhawatiran dari partai-partai untuk bisa berkompetisi secara kuat dengan calon petahana.
Meski sejumlah partai secara formal sudah membuka penjaringan calon kepala daerah, seperti halnya PKB, Golkar, Gerindra, Hanura dan Nasdem, namun calon yang mendaftar di partai-partai tersebut kebanyakan orang yang sama.
Calon itu, misalnya, Ketua Harian KONI Jatim Dhimam Abror, pengusaha Basa Alim Tualeka, Direktur Harian Memorandum Sukoto dan lainnya. Namun pendaftaran tersebut dinilai hanya formalitas belaka karena penentu akhir ada di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai.
Kondisi perpolitikan seperti itu membuat Ketua DPC PDIP Surabaya Whisnu Sakti Buana mengambil sikap dengan menggagas pilkada secara aklamasi atau musyawarah mufakat dengan memilih calon tunggal.
Apalagi, PDIP sendiri sudah memiliki pasangan calon kuat Rismaharini-Whisnu yang diharapkan bisa mendapatkan dukungan dari partai-partai lainnya sehingga tercipta pilkada aklamasi.
Whisnu menyatakan berdasarkan peraturan perundangan calon yang maju dalam pilkada minimal dua pasangan calon. Tapi jika menganut Demokrasi Pancasila, pelaksanaan pilkada berdasarkan asas musyawarah mufakat sangat dimungkinkan calon tunggal.
“Pancasila merupakan dasar hukum dan tata peraturan perundangan kita yang tertinggi. Di situ, diatur masalah musyawarah mufakat. jika pesta demokrasi bisa dilaksanakan berdasarkan musyawarah mufakat, kenapa harus ada voting melalui pemilihan kepala daerah. Pemerintah daerah juga bisa menghemat anggaran sekitar Rp89 miliar ,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga siap melakukan uji materi ke Mahkamah konstitusi (MK) jika tercapai kesepakatan antarpartai politik. “Kalau harus uji materi, kita akan lakukan. Tapi itu masih jauh,” tegasnya.
Untuk memuluskan rencana itu, Whisnu akhirnya mengundang 10 partai politik (parpol) di kediaman Wakil Wali Kota pada 16 Juni. Namun dari 10 parpol yang diundang, hanya sembilan parpol yang datang. Kesembilan partai itu di antaranya, PDIP, PKB, PKS, Partai Nasdem, Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN dan Partai Demokrat. Sedangkan satu partai yang absen adalah PPP.
“Semua partai mengapresiasi, dan nanti akan membawa hasil pertemuan ini ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP),” katanya.
Pemilihan calon rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya periode 2015-2020 yang berlangsung secara aklamasi merupakan salah satu contoh yang akhirnya diterima semua kalangan.
Calon Boneka Gagasan Pilkada aklamasi mendapat reaksi dari KPU Kota Surabaya. Komisioner KPU Surabaya Purnomo menilai pelaksanaan pilkada secara aklamasi tidak bisa terlaksana karena UU pilkada tidak mengatur hal itu.
Purnomo mengatakan Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 telah mengantisipasi jika hanya satu pasangan calon yang mendaftar, yaitu dengan cara membuka kembali masa pendaftaran pasangan calon. Sebagaimana diketahui, pendaftaran untuk pasangan calon dari partai politik akan dibuka pada 26 Juli dan berakhir pada 28 Juli.
Jika sampai waktu yang ditenggatkan hanya ada satu pasangan calon, KPU akan kembali membuka pendaftaran selama tiga hari. Jika sampai saat itu masih juga belum ada pasangan yang mendaftar maka akan dibuka pendaftaran ulang selama tiga hari lagi. Hal itu sesuai dengan PKPU 9/2015 pasal 91.
Tidak ada batasan maksimal tentang sampai berapa kali perpanjangan pendaftaran bisa dilakukan. Menurut Purnomo, akan dibuka sampai ada minimal dua pasangan calon yang mendaftar.
“Tapi yang perlu dicatat, jika kita terus membuka pendaftaran maka sebenarnya yang dirugikan adalah pasangan dan parpol. Sebab waktu kampanye mereka akan berkurang,” kata Purnomo.
Ketua Badan Pemengan Pemilu DPC PDIP Surabaya Adi Sutarwijono menilai KPU dan perangkat peraturan yang berlaku tidak siap dengan calon tunggal dalam pilkada.
Ia mengatakan jika dipaksakan muncul pasangan calon lain, selain bakal calon Rismaharini-Whisnu, maka yang dipenuhi hanya standar prosedural Pilkada.
“Bisa jadi calon pasangan lain itu jadi-jadian atau semacam boneka karena substansi kompetisi untuk melahirkan pemimpin yang unggul, dan disetujui mayoritas rakyat, sama sekali tidak terjadi,” katanya.
Menurut dia, jika kalau benar nanti Pilkada Surabaya hanya diisi pasangan calon tunggal, yakni Risma-Whisnu, maka KPU harus bertanggung jawab untuk mencari jalan keluar yang konstitusional atas kebuntuan prosedural itu.
“Juga, Pemerintah Pusat dan DPR sebagai pihak yang menyusun Undang-Undang Pilkada harus pula bertanggung jawab,” katanya.
UU 8/2015 tentang Pilkada merumuskan standar proseduralnya harus diikuti dua pasangan calon, sehingga bisa melahirkan kompetisi. Tapi perangkat UU dan peraturan lain yang berlaku tidak memberi slot atau ruang jika ternyata hanya muncul satu pasangan calon.
“Ini kelemahan dan kelalaian demokrasi voting yang dianut UU Pilkada sekarang, dengan tidak memberi ruang ditempuhnya prosedur musyawarah mufakat jika hanya muncul satu pasangan calon,” katanya.
Wakil Sekretaris DPC Partai Demokrat Kota Surabaya Dedy Prasetyo menilai aturan KPU yang memperpanjang pendaftaran calon kepala daerah sampai terpenuhi dua pasang berpotensi menciptakan calon kepala daerah boneka.
Menurut dia, calon yang muncul setelah perpanjangan pendaftaran di KPU adalah calon dagelan yang dimunculkan supaya tidak terjadi calon tunggal dan yang tertuduh pasti penyelenggara atau calon tunggal tersebut.
“Dalam sistem demokrasi biarkan rakyat memilih,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris DPD Partai Golkar Kota Surabaya Dwi Utomo menegaskan tidak sepakat adanya Pilkada aklamasi, karena itu tidak diatur dalam undang-undang.
“Dalam kontek pilkada, demokrasi tidak seperti itu dan tidak ada istilah aklamasi. Harus ada dua calon dan diserahkan kepada masyarakat untuk memilihnya. Untuk itu kami tetap melakukan penjaringan dan tahapan pilakada,” katnya.
Ketua Tim Penjaringan Kepala Daerah DPC Gerindra Surabaya, AH Thony mengatakan hal itu sulit dilakukan karena KPU tidak mungkin akan merubah sistem dan jadwal yang sudah dibuat.
“Jangankan melalui musyawarah mufakat hanya dengan melibatkan pimpinan parpol. Usulan pilkada melalui dewan lagi saja ditolak,” katanya.
Ketua DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Surabaya, Ibnu Shobir mengatakan soal koalisi dengan PDIP untuk mengusung calon tunggal masih akan dibicarakan dulu di internal partai. Sebab, ada banyak tahapan sebelum langkah koalisi itu diambil.
“Nanti kan harus melewati DPD PKS Jatim dan DPP PKS. Tentunya DPD Surabaya tidak bisa memutuskan sendiri,” katanya.
Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Surabaya Syamsul Arifin mengatakan jika Pilkada Surabaya 2015 hanya ada satu calon, maka itu sama halnya tidak menghargai demokrasi. “Demokrasi lumpuh total di Surabaya,” ujarnya.
(ABDUL HAKIM/ANT)